Kisah Inspiratif
Kisah Djanggan Purbo Djati, Dalang Cilik asal Kulon Progo Bercita-cita jadi Dalang Profesional
Perawakannya yang kecil tidak menghalangi Djanggan Purbo Djati bercita-cita sebagai dalang profesional.
Penulis: Sri Cahyani Putri | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Sri Cahyani Putri Purwaningsih
TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Perawakannya yang kecil tidak menghalangi Djanggan Purbo Djati bercita-cita sebagai dalang profesional.
Siswa kelas VI di SD N 3 Pengasih ini mengaku ingin menjadi dalang profesional seperti Ki Seno Nugroho yang berasal dari Yogyakarta.
Ketertarikan Djanggan terhadap wayang karena ingin melestarikan budaya yang terdapat di Indonesia satu di antaranya wayang kulit.
Adapun lakon yang pernah ia mainkan diantaranya Aji Narantaka, Kikis Tunggarana, Kangsa Adu Jago dan Cupu Manik Astagina.
Sedangkan tokok wayang yang menjadi favoritnya yaitu Gatotkaca.
• Cerita Dalang Perempuan Asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Pernah Salah Suara
"Tokoh Gatotkaca karena wataknya ksatria dan juga memiliki aji-aji yang bisa terbang," ucapnya saat ditemui di rumahnya yang berlokasi di RT 47 RW 24 Dusun Nglotak, Kalurahan Kaliagung, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Jumat (4/9/2020).
Meski di usianya yang masih belia, berbagai penghargaan juga telah diperolehnya dari tingkat kabupaten sampai dengan provinsi.
Di tingkat kabupaten ia berhasil meraih juara III pada 2018, juara II pada 2019 dan juara I pada tahun ini.
Dari beberapa penghargaan tersebut, ia dipercaya mewakili Kabupaten Kulon Progo untuk maju dalam festival serupa di tingkat provinsi D.I Yogyakarta yang digelar pada Agustus 2020 kemarin dengan lakon yang dibawakan "Cupu Manik Astagina".
"Pada festival ini saya mendapatkan juara I. Jadi penghargaan juara 1 sampai III dari beberapa festival pernah saya dapatkan. Bahkan bulan ini akan mewakili DIY untuk maju di tingkat nasional," kata dia.
Kemudian ia juga sering mengikuti pentas wayang kulit yang digelar di kalurahan setempat dan program wayang masuk sekolah yang digelar oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo.
Ia berpesan kepada generasi seusianya untuk tetap ikut melestarikan kebudayaan yang ada Indonesia.
Sebab, menurutnya seni tradisional menjadi mudah jika memiliki kemauan belajar.
• Kisah Dalang Wanita Asal Gunungkidul, Ninda Tak Ciut Nyali di Tengah Dominasi Dalang Laki-laki
Sementara, Kedua orang tua Djanggan yakni Muhammad Yasin (60) dan Ngatiyem (55) tidak pernah menyangka jika anak bungsunya dari empat bersaudara bisa menjadi dalang cilik seperti sekarang ini.
Sebab di silsilah keluarganya tidak ada yang memiliki keahlian sebagai dalang.
Yasin dan ketiga kakaknya lulusan dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta sedangkan ibunya di sebuah SMK di Kulon Progo.
"Saya heran, Djanggan bisa menjadi dalang dari siapa. Soalnya dari keluarga yang dulu juga tidak ada yang menjadi dalang. Saya dan ketiga kakaknya memang dari lulusan seni namun bukan sebagai dalang melainkan dari seni lukis dan ibunya juga tidak dari lulusan seni," ungkapnya.
Lebih lanjut, Yasin menceritakan awal mula anak bungsunya menyukai wayang saat berusia 2 tahun.
Saat itu, ia melihat Djanggan menata pecahan genting di teras rumahnya.
Kemudian memainkan pecahan genting tersebut selayaknya memainkan wayang.
Namun hal tersebut tidak diindahkan olehnya.
Sampai suatu hari, ia melihat Djanggan kembali memainkan wayang menggunakan dedaunan yang sudah kering yang ditata sedemikian rupa selayaknya saat pementasan wayang.
Hingga akhirnya saat Djanggan menduduki pertengahan kelas II SD ia berinisiatif mencarikan sanggar wayang kulit untuk mengasah kemampuannya menjadi dalang cilik.
Saat itu, ia mencari sanggar wayang khusus dalang cilik di Kulon Progo namun tidak ada.
Sampai pada akhirnya ia diberitahu temannya ada sanggar wayang khusus dalang cilik di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Kabupaten Bantul yang bernama "Sanggar Ayodya" milik Mbah Juwaroyo.
• 10 Dalang Anak dan Remaja Ikuti Pentas Wayang Dinas Kebudayaan DIY di Taman Budaya Yogyakarta
Selama satu tahun, Djanggan berlatih di sanggar tersebut.
"Setiap Sabtu pulang sekolah saya antar Djanggan latihan sanggar itu dan saya jemput setelah selesai latihan saat maghrib. Namun setelah Djanggan satu tahun di sanggar kemudian ia berhenti latihan karena saya tidak sanggup jika harus antar jemput," ucap Yasin.
Selanjutnya, agar Djanggan tetap bisa berlatih wayang setelah berhenti dari sanggar, ia akhirnya merubah ruangan belajar Djanggan menjadi ruangan latihan wayang.
Lengkap dengan peralatan selayaknya tempat pementasan wayang pada umumnya seperti blencong (lampu minyak), kelir (layar besar), debog (tempat untuk menancapkan wayang) dan kurang lebih 20 tokoh pewayangan.
Hanya saja perbedaannya dibuat secara kecil-kecilan.
"Kemudian setelah beberapa tahun baru ada sanggar wayang kulit khusus dalang cilik di Sentolo yang didirikan Ki Suranto Hadi Sucipto. Dan sampai saat ini saya ikutkan Djanggan ke sanggar wayang kulit itu," tuturnya. (TRIBUNJOGJA.COM)