Marwan Jafar: WHO Harus Transparan Pada Negara dan Rakyat Indonesia Terkait Pandemi Covid-19

WHO perlu memberikan penjelasan kepada negara dan rakyat Indonesia secara terbuka, jujur dan penuh tanggung jawab dalam sebuah forum di parlemen.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Marwan Jafar, Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. 

Marwan juga memberi ilustrasi, sebagaimana rilis media, dimana hanya ada satu orang yang paling didengar masyarakat di Amerika Serikat, meski bukan Presiden AS, Donald Trump, tapi sosok Dr Anthony Fauci yang lantang angkat suara terkait pandemi Covid-19.

Dengan berbasis sains, komentar-komentar direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS tersebut, terdengar sebagai suara kebenaran. Sejak pandemi Covid-19 melanda AS, Fauci secara blak-blakan mengatakan, pandemi virus corona akan memburuk di AS dan mengkritik respons sejumlah pemerintah federal. 

Maish ada lagi, Dr Shiva Ayyadurai pemegang empat gelar dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), termasuk PhD dalam rekayasa biologi , dan juga menarik dua laporan sekaligus, Pertama, mempertanyakan kondisi kerja lembaga ilmiah terbesar India; Kedua, mempertanyakan keamanan kedelai yang dimodifikasi secara genetik . Selama pandemi Covid-19 , Ayyadurai menjadi terkenal karena kampanye informasi media sosial yang salah tentang virus corona, yakni sejatinya ada dugaan kuat pihak yang menyebarkan teori konspirasi tentang penyebab Covid-19.

"Terlepas dari semua itu, sekali lagi, WHO harus independen dalam menjelaskan isu-isu ini. Covid-19, pertama kali mulai merebak pada akhir bulan Desember 2019 di Wuhan, Hubei, China. Dunia mulai was-was. Virus ini pun mulai menyebar ke negara lain. WHO kemudian mulai menyalakan sinyal berbahaya terkait virus ini," ungkapnya.

Melihat virus corona yang makin menggila, WHO kemudian merevisi penilaian risiko mereka terhadap virus Covid-19. Virus ini, ketika itu telah membunuh 170 orang di China dan konon bersumber dari hewan, lalu menular dan menyebar antar manusia seperti yang selama ini kita fahami. Bagaimana dengan semua ini? Juga bagaimana perkembangan penemuan vaksin versi WHO dan hasil kerjasama pakar-pakar kesehatan WHO serta kerjasama dengan pihak laboratorium dan hasil penelitian WHO itu sendiri? Terlepas dari semua itu, WHO harus transparan pada negara dan rakyat Indonesia terkait Covid-19.

2). Forum yang sangat relevan untuk menguak berbagai isu tersebut adalah forum rapat gabungan, yakni DPR bersama Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19 dan WHO. Disamping Rapat Dengar Pendapat atau RDP, yakni antara DPR dan WHO.

Dalam Rapat Dengar Pendapat atau bisa juga digelar Rapat Gabungan dengan DPR, bisa dilangsungkan dengan pihak pimpinan WHO di Genewa maupun perwakilan WHO di Jakarta, baik secara Virtual maupun secara langsung hadir di DPR, tentu dengan standar protokol kesehatan.

3). Perlunya WHO memiliki peta penanganan masalah pandemi Covid-19 yang sesuai dengan karakteristik masing-masing negara, baik negara maju, berkembang dan terbelakang.

"Inilah pentingnya peta penanganan pandemi Covid-19 yang perlu dirumuskan oleh WHO secara spesifik, sesuai kondisi dan karakteriatik masyarakat di masing-masing negara sehingga dapat berjalan efektif. Indonesia, misalnya jelas memiliki karakteristik tersendiri, baik geografis, etnis, budaya dan lainnya", katanya.

4). WHO perlu menghindarkan diri dari liberalisasi bidang kesehatan dan perang obat-obatan. Liberalisasi yang menjadi sifat khas dari kapitalisme khususnya di bidang kesehatan atau medis di tengah pandemi Covid-19 harus dihentikan karena tidak banyak segi positif yang diperoleh Indonesia.

"WHO diharapkan dapat menghentikan gelagat liberalisasi bidang kesehatan ini yang berujung pada perang obat-obatan", tegasnya.

Dari pemberitaan media, Marwan mencontohkan, Bill Gates telah menyiapkan vaksinasi corona sebanyak 7 milliar penghuni dunia. Bahkan, konon sudah mulai akan dilakukan uji coba, termasuk kemungkinan ke Indonesia yang harusnya disikapi dengan hati-hati.

"Untuk itu, sebaiknya masing-masing negara diberikan keleluasaan untuk mengembangkan dan menggunakan kemampuan pengobatan Covid-19 dengan obat-obatan dalam negeri, termasuk penemuan vaksin oleh negeri kita sendiri yang dikembangkan oleh kampus-kampus maupun perusahaan-perusahaan BUMN bidang Farmasi. Kita yakin Indonesia bisa dan mampu. Janganlah bangsa kita hanyut ke dalam arus liberalisasi kesehatan dan perang obat-obatan yang justru akan menyengsarakan rakyat sendiri. Obat-obatan, vitamin dan vaksin yang diciptakan di dalam negeri, dengan bahan baku dan SDM dalam negeri pula dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan karakteristik masyarakat, sehingga hasilnya jauh lebih efektif", imbuhnya.

Marwan juga meyakini, diplomasi yang dibangun Indonesia dengan WHO akan terus membuahkan kemajuan yang saling menguntungkan, yaitu membangun ekonomi yang kuat, industri kesehatan dengan keunggulan komparatif yang spesifik, merancang program untuk mengurangi penduduk miskin, dan struktur kelembagaan penanganan pandemi Covid-19 maupun pandemi serupa secara lebih tangguh.

Indonesia harus proteksi rakyat yang masuk kategori fakir, miskin, tuna wisma, kaum papa, kelompok marginal, divabel dan kelompok rentan lainnya secara lebih baik. Sebagai catatan Badan Pusat Statistik (BPS), seperti yang dilansir Media, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 berjumlah 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen. Angka tersebut lebih rendah 0,53 juta jiwa dibandingkan dengan penduduk berpengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan pada September 2018 lalu.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved