Tatanan New Normal, Sosiolog UGM : Jadi Momentum Transformasi Berkeadilan Sosial

Tatanan New Normal, Sosiolog UGM : Jadi Momentum Transformasi Berkeadilan Sosial

Penulis: Irvan Riyadi | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM/Maruti A. Husna/ tangkapan layar
Arie Sujito saat menjadi narasumber diskusi daring Fisipol UGM, Senin (13/4/2020) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYAKARTA – Serba-serbi mengenai tatanan normal masih mengemuka dalam menghadapi pandemi virus corona.

Beberapa daerah, termasuk Yogyakarta, kini sedang mempersiapkan protokol terkait penerapan tatanan normal baru tersebut.

Daerah atau wilayah yang dipandang telah terjadi penurunan penularan virusnya, maka era selanjutnya disebut new normal.

Di mana keadaan akan dilonggarkan, sehingga aktifitas usaha dan ekonomi serta sosial kembali bisa dijalankan.

Namun dengan protokol-protokol baru, yang disesuaikan dan ditetapkan berdasarkan pola-pola baru dalam menghadapi pandemi.

Terkait dengan hal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, memberi tanggapan.

Dari kacamata sosial, ia melihat era baru yang kemudian akan disebut new normal atau tatanan normal yang baru ini, sebagai konsep transformasi sosial.

Sebuah keadaan dan tatanan kehidupan yang ditandai dengan adaptasi baru, oleh karena adanya pandemi covid-19.

“Ini sebenarnya momentum bagi bangsa kita Indonesia. Yang kita perlukan adalah terjadinya transformasi atau perubahan sosial, dengan misi keadilan dan kemanusiaan,” ucap sosiolog yang akrab disapa mas Ari, saat ditemui Tribun Jogja, Senin (1/6/2020).

Kemenparekraf Pastikan Protokol Normal Baru Jadi Acuan Pelaku Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Peta Sebaran Pasien Positiv Virus Corona yang Dinyatakan Sembuh 24 Jam Terakhir, Jakarta Terbanyak

Perubahan, menurut Arie Sujito, dalam keadaan ini adalah keniscayaan. Artinya, berkaitan dengan pandemi, perubahan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan tidak bisa dihindarkan.

Penekanannya, ada pada bagaimana menyiapkan segala sumberdaya yang dimiliki dalam menghadapi dan menyiapkan perubahan itu sendiri.

“ Kita ingat ketika diskusi soal kemajuan sistem informasi yang sangat glorifikatif. Cara pandang kita sangat dipengaruhi oleh teknologi dan sistem informasi. Lalu, ketika ada pandemi, semua hal dengan konstruksi glorifikasi itu, dengan sendirinya perlahan hampir tidak berdaya juga,” ungkapnya.

Ia menambahkan, peran negara, dan partisipasi masyarakat, juga termasuk modal besar.

Hanya saja terkadang, masing-masing terfragmentasi, sehingga rentan melahirkan bias, baik implikasi kebijakannya, maupun persepsi dalam menjalankan anjuran dan protokol.

Dari sisi masyarakat, Arie, menyatakan, betapa masyarakat telah memiliki partisipasi yang cukup baik.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved