Update Corona di Yogyakarta
Gugus Tugas DIY Tak Sepakat Ada Sanksi bagi Warga yang Melanggar Protokol COVID-19, Ini Alasannya
Soal penerapan sanksi pelanggar protokol COVID-19, Tim gugus tugas penanganan Covid-19 DIY menanggapi usulan DPRD DIY
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tim gugus tugas penanganan Covid-19 DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) memberikan tanggapannya terkait usulan Komisi D DPRD, di antaranya soal penerapan sanksi bagi pelanggar protokol COVID-19.
Menanggapi arahan dari Komisi D PPRD DIY, tentang penanganan Covid-19 selama masa tanggap darurat yang sudah diberlakukan, tim gugus tugas penanganan Covid-19 DIY tetap berpegang prinsip jika masyarakat merupakan subyek.
Artinya, pendekatan persuasif menjadi kunci dalam mencegah penyebaran Covid-19 di DIY, meski para legislator merasa hal itu sudah tidak efektif, namun nampaknya gugus tugas Covid-19 DIY ke depan akan tetap berlakukan model penanganan yang sama.
• Komisi D Ingin Pemda DIY Contoh Klaten Dalam Penanganan COVID-19 serta Terapkan Sanksi Pelanggar
Wakil Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19 DIY, Biwara Yuswantana mengungkapkan, ia kurang setuju jika arah penanganan Covid-19 harus dijalankan seperti halnya di Kabupaten Klaten.
Pasalnya, lanjut dia, pembahasan mengenai pemberlakuan sanksi juga sudah pernah dibahas oleh timnya.
Menurutnya, penerapan sanksi tidak sesuai dengan kondisi yang ada di DIY. Untuk itu, pemberlakuan status tanggap darurat hanya menjadi pegangan dalam penerapan protokol kesehatan.
"Karena ini hanya soal perilaku. Sebetulnya sudah kami bahas sejak lama untuk pemberlakuan sanksi tersebut. Namun, kembali lagi ini hanya soal perilaku masyarakat hidup bersih. Karena acuan undang-undang kesehatan sudah ada," katanya saat dihungi Tribunjogja, Senin (25/5/2020)
Ia melanjutkan, seharusnya masyarakat juga perlu memahami terkait apa itu undang-undang kesehatan, undang-undang karantina.
Dalam hal ini, masyarakat butuh mengedepankan kesadaran atas perilaku yang dituangkan dalam undang-undang kesehatan.
"Misalnya, terkakt physical distancing, pola hidup bersih dan lain-lain," imbuh dia.
Masih kata Biwara, pembahasan dengan biro hukum Pemda DIY mengenai penerapan aturan sudah dilakukan, namun tidak ada kesepakatan untuk pemberlakuan sanksi.
Dasar tidak diberlakukannya peraturan yang ketat seperti di Kabupaten Klaten itu pun merujuk pada beberapa hal.
Pertama, ia khawatir jika pengenaan sanksi tersebut malah justru menambah permasalahan baru.
Kedua, gugus tugas mengantisipasi munculnya oknum provokatif yang bukan ikut mengedepankan aturan, mereka justru malah memperkeruh suasana.
"Karena sebenarnya tujuan dari tanggap darurat ini kan membentuk perilaku. Kalau masyarakat dikenakan sanksi, kami khawatir justru banyak yang melanggar dan timbul persoalan baru," ungkap dia.
Sementara untuk menghadapi new normal ke depan, ada kemungkinan besar jika status tanggap darurat tetap akan diterapkan.
Namun, terkait penanganannya ia menekankan jika misalnya untuk kehidupan baru di perhotelan, pihak pengelola wajib menyediakan fasilitas kebersihan dan kesehatan para tamu.
Untuk restoran, pihaknya mengimbau supaya hanya melayani 10 hingga 15 pelanggan saja. Lebih dari itu, pelanggan ke 16 harus menunggu atau berpindah ke tempat lain.
"Nantinya juga berlaku untuk kehidupan di pasar. Akan ada protokol kesehatan baru dalam proses transaksi di sana," tegas dia.
Saat disinggung mengenai perbaikan data penerima bantuan sosial (Bansos) Pemda DIY masih terus mengupayakan agar warga yang belum mendapat bantuan untuk diusulkan di tahap dua.
Penanganan belum memuaskan
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY mengungkapkan ketidakpuasan dalam upaya penanggulangan COVID-19 di penghujung masa tanggap darurat yang akan berakhir 29 Mei ini.
Ketidakpuasan tersebut diungkapkan, Ketua Komisi D Bidang Kesehatan DPRD DIY, Koeswanto.
Menurutnya ada bebrapa hal yang perlu dievaluasi dalam penanganan selama masa tanggap darurat selama hampir tiga bulan itu.
Di antaranya, ia menganggap Pemerintah Daerah (Pemda) DIY tidak tegas dalam upaya penanganan dan pencegahan COVID-19 sejauh ini.
"Misalnya dalam pengamanan dan penindakan bagi masyarakat yang tidak tertib dalam protokol kesehatan," katanya, Senin (25/5/2020)
Ia menambahkan, menurutnya untuk ke depan, Pemda DIY perlu mengambil kebijakan yang lebih kepada sanksi indisipliner.
Misalnya, lanjut dia, untuk memulai pola hidup baru dengan tetap berlakukan kebersihan harus dimulai dari bawah.
Pemberian sanksi indisipliner namun tetap bermanfaat yang dimaksudkan yakni, bagi masyarakat yang tidak patuh berlakukan protokol kesehatan, wajib bayar denda di tingkat RT/RW hingga dusun.
"Nanti misalnya banyak yang melanggar, uangnya ya untuk masyarakat juga. Kalau hanya sekedar teriak-teriak new normal saja masyarakat tidak akan paham, harus ada kebijakan di atasnya," urainya.
Lebih lanjut dia menyampaikan, Pemda DIY perlu mencontoh Kabupaten Klaten. Di sana menurutnya tim gugus tugas tingkat Kecamatan dan Desa sangat proaktif.
Pemantauan dan patroli dari jajaran Polsek dan Koramamil berperan penting dalam pemulihan status zona merah menjadi zona hijau.
"Mereka patroli setiap malam, setiap saat. Saya pernah menyaksikan. Jadi ada sanksi yang pasti. Nah, itu ternyata efektif. Sekarang percuma saja ada aturan tapi sanksi untuk para pelanggar tidak ada," tegasnya.
Koeswanto menambahkan, catatan terakhir, ia berharap Pemda DIY segera membenahi data paling bawah penerima bantuan.
Hal itu lantaran dirinya mendengar keluh kesah para warga masyarakat. Menurutnya, kecemburuan sosial akan terjadi di lapisan bawah terkait bansos.
"Ini seperti gunung es. Kalau tidak dibenahi akan menjadi masalah besar dilkemudian hari. Karena saya mendapat keluhan dari masyarakat, dan saya harap Pemda segera membenahi," pungkasnya.
(*/hda/ Tribunjogja.com )