Jepang Kalang Kabut Hadapi Virus Corona, Kekurangan APD hingga Penurunan Ekonomi
Tak hanya Indonesia yang berjibaku dengan wabah virus Korona, Jepang yang terkenal sebagai negara canggih ternyata cukup kalang kabut dengan Covid-19
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA.COM, TOKYO - Tak hanya Indonesia yang berjibaku dengan wabah virus corona, Jepang yang terkenal sebagai negara canggih ternyata cukup kalang kabut dengan Covid-19.
Baru-baru ini, peneliti di Jepang memproyeksikan angka kematian bisa mencapai 400 ribu orang jika masyarakat tidak mengurangi kontak dengan orang lain dan tidak waspada.
Tim peneliti mengatakan simulasi itu memperlihatkan betapa pentingnya untuk pemerintah agar segera mengambil langkah efektif mengurangi kontak sosial, sementara masyarakat mengikuti perintah yang sudah ada.

Profesor Hiroshi Nishiura dari Hokkaido University yang merupakan ahli penyakit menular mengatakan pengurangan 80 persen kontak manusia-ke-manusia selama keadaan darurat saat ini dikenakan pada tujuh prefektur, termasuk Tokyo dan Osaka.
"Kita bisa menghentikan penyebaran penyakit menular ini jika kita secara drastis mengurangi kontak antar manusia," katanya.
Pemerintah tidak berharap kematian akan mencapai tingkat ini jika langkah-langkah ini diterapkan.
Sebuah tim kementerian yang mempelajari kelompok Covid-19 memperkirakan bahwa kasus-kasus serius yang memerlukan intervensi ventilator dapat mencapai 850.000.
Hingga kini, Jepang telah memiliki lebih dari 8.000 kasus dan 162 kematian akibat virus itu.
Ada tanda-tanda bahwa sistem perawatan kesehatan sedang dikembangkan. Kurang lebih dari sembilan dari 47 prefektur Jepang hampir memenuhi semua tempat tidur rumah sakit darurat yang disisihkan untuk kasus-kasus virus corona.

Pemerintah kota Osaka telah mengeluarkan permohonan agar penduduk menyumbangkan mantel tahan air ke rumah sakit karena petugas kesehatan kehabisan pakaian pelindung.
Walikota Osaka, Ichiro Matsui pada hari Selasa mengatakan para dokter dan perawat di sejumlah rumah sakit di kota kedua negara itu harus mengenakan liner ketika mereka merawat pasien.
Kota telah meminta produsen pakaian serupa lokal untuk meningkatkan produksi dan menjual peralatan ke pemerintah kota.
Mieko Nakabayashi, mantan politisi Partai Demokrat Jepang dan sekarang menjadi profesor di Universitas Waseda Tokyo mengatakan para dokter ketakutan arena wabah ini
"Para dokter takut karena pemerintah tidak bergerak dengan cepat atau cukup tegas dan saya tahu karena suami saya seorang dokter dan dewan Asosiasi Rumah Sakit Tokyo. Rumah sakit dibatasi oleh peraturan pemerintah yang tidak bisa dilanggar dan menghambat birokrasi. Pemerintah tidak mengizinkan cukup tes untuk dilakukan,” katanya melansir South China Morning Post.

Beberapa prefektur, termasuk yang tidak dalam keadaan darurat, telah meminta bisnis untuk menunda operasi, menetapkan 6 Mei sebagai tanggal untuk membuka kembali fasilitas komersial yang tidak penting.