Yusril Sebut Darurat Sipil Tak Relevan Diterapkan, Presiden Jokowi: Tidak untuk Sekarang
Darurat sipil digunakan untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan untuk mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai status darurat sipil tidak cocok diterapkan untuk mengatasi wabah virus corona
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Pemerintah telah memutuskan untuk menerapkan beberapa kebijakan baru sebagai strategi untuk mengatasi penyebaran virus corona covid-19.
Di antaranya adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang disertai dengan darurat sipil.
Namun, status darurat sipil yang dicanangkan pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut dianggap tidak sesuai dan tidak relevan diterapkan.
Hal itu disoroti pula oleh pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, penetapan darurat sipil digunakan untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan untuk mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.
"Darurat sipil terkesan repressif. Militer memainkan peran sangat penting kendalikan keadaan," ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Selasa (31/3/2020).

Yusril mengatakan, penetapan status darurat sipil mengacu pada Perppu No 23 Tahun 1959.
Dalam Perppu tentang kedaruratan sipil itu termaktub berbagai ketentuan seperti melakukan razia dan penggeledahan yang hanya relevan digunakan untuk menghadapi pemberontakan dan kerusuhan.
Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan juga tidak relevan digunakan mengatasi wabah Covid-19.
Yusril mengatakan, ia pernah menggunakan pasal-pasal darurat sipil itu untuk mengatasi kerusuhan di Ambon tahun 2000 di era kepresidenan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
• Tiga Rekomendasi Ahli untuk Memutus Penyebaran Virus Corona dan Angka Kematian Akibat COVID-19
• Bupati Bantul Persilakan Rumah Dinasnya Dijadikan Asrama Paramedis Covid-19
Kala itu, kata Yusril, Gus Dur akhirnya setuju menyatakan darurat sipil dan meminta mengumumkannya di Istana Merdeka, Jakarta.
Yusril mengatakan, saat itu status darurat sipil mampu meredam kerusuhan bernuansa etnik dan agama tersebut.
Yusril pun menilai darurat sipil memiliki kelemahan sebab tak bisa melarang orang berkumpul untuk melakukan kegiatan keagamaan termasuk pengajian-pengajian.
"Kerusuhan Ambon jelas beda dengan wabah corona. Mudah-mudahan kita mampu mengambil langkah yang tepat di tengah situasi yang amat sulit sekarang ini," kata Yusril.
"Keadaan memang sulit, tapi kita, terutama para pemimpin jangan sampai kehilangan kejernihan berpikir menghadapi situasi," lanjut dia.
Sekadar Opsi
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan, status darurat sipil baru sekadar opsi yang dimunculkan pemerintah.
Menurut dia, dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah harus menyiapkan semua skenario, termasuk pemberlakuan status darurat sipil.
"Semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal. Perangkatnya kita siapkan," ujar Jokowi dalam keterangan pers melalui sambungan konferensi video, Selasa (31/3/2020).
"Sekarang ini tentu saja tidak," lanjut Jokowi.
• Bertambah Satu, Pasien Positif COVID-19 di Bantul Jadi 5 Orang
• Rencana Presiden Jokowi Terapkan Darurat Sipil untuk Pencegahan Virus Corona Dikritik, Ini Alasannya
Ia menambahkan, saat ini pemerintah pusat telah menerbitkan seperangkat aturan untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Jokowi mengatakan, PSBB diberlakukan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (keppres) yang telah ditandatanganinya.
"Mengenai PSBB baru saja saya tanda tangani PP-nya. Dan keppres-nya yang berkaitan dengan itu dan kita harapkan dari setelah ditandatangani PP dan keppres mulai efektif berjalan," ujar Jokowi. (kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Yusril: Status Darurat Sipil Tak Relevan Digunakan Lawan Wabah Corona"