Setelah Putra Mahkota UEA, Kini Tony Blair Didaulat jadi Dewan Pengarah Ibu Kota Baru
Presiden Jokowi berencana untuk melibatkan Syekh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, Masayoshi Son dari SoftBank, dan Tony Blair untuk Ibu Kota baru RI
TRIBUNJOGJA.COM - Presiden Joko Widodo terus mematangkan rencana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.
Presiden Jokowi berencana untuk melibatkan Syekh Mohammed bin Zayed Al Nahyan (Putra Mahkota Uni Emirat Arab), Masayoshi Son (CEO SoftBank) beserta Tony Blair (mantan Perdana Menteri Inggris).
• Jakarta Tenggelam 2050, Indonesia Sudah Kehilangan 2 Pulau dan 4 Lainnya Menyusul
Mereka diangkat sebagai Dewan Pengarah Pembangunan Ibu Kota Baru. Dewan tersebut diketuai oleh Syekh Mohammed bin Zayed Al Nahyan.
"Bapak Tony Blair juga sama, memiliki reputasi yang baik di bidang pemerintahan. Saya kira yang ingin kita bangun ini adalah trust internasional terhadap apa yang ingin kita kerjakan,” ucap Jokowi, Kamis(16/1/2020) lalu.
Lantas siapakah sosok Tony Blair yang rencananya akan dilibatkan dalam proses pembangunan Ibu Kota Baru ini?
Sepak terjang Tony Blair
Dia adalah mantan Perdana Menteri Inggris. Nama lengkapnya Anthony Charles Lynton Blair. Dia lahir pada 6 Mei 1953 di Edinburg, Skotlandia.

Blair menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris selama 10 tahun mulai 1997 hingga 2007. Dia diusung oleh Partai Buruh Inggris.
Tony Blair merupakan Perdana Menteri termuda dan terlama kedua setelah periode 1812.
Blair merupakan putra pengacara. Ia merupakan lulusan Perguruan Tinggi St John di Universitas Oxford yang membuatnya mempelajari bidang hukum, ide-ide keagamaan, dan musik populer.
Blair lulus dari Oxford tahun 1975 dan menjadi praktisi hukum ketenagakerjaan dan komersial.
Ia kemudian terlibat dalam politik saat bergabung dengan Partai Buruh. Tahun 1983, Blair terpilih menjadi anggota parlemen Dewan Perwakilan Rakyat.
Bergabungnya Blair ke dalam politik bersamaan dengan berakhirnya era kekuasaan politik yang panjang dari Partai Konservatif yang sudah berkuasa sejak 1979.
Menjadi Perdana Menteri
Blair menjadi Perdana Menteri usai mengantongi suara terbanyak yakni 179 suara di House of Commons.
Selama menjadi Perdana Menteri, Blair menggambarkan filosofi pemerintahannya sebagai ‘jalan ketiga’.
Ia mengklaim kebijakannya dirancang untuk memungkinkan demokrasi sosial guna menanggapi tantangan ekonomi pasar dunia dan globalisasi.
Jalan ketiga, banyak disebut sebagai cara Blair menemukan bentuk politik progresif yang membedakan dirinya dengan konservatisme yang ada.
Selama memerintah, ia kerap meminta nasihat kepada para pengusaha yang terkenal di era perdana menteri sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Blair, perusahaan swasta diberi peran penting dalam membiayai proyek infrastruktur negara. Tetapi, ia kerap dikecam karena dianggap pembiayaan itu tak menguntungkan bagi para pembayar pajak.
Inisiatif besar di awal pemerintahan Blair adalah mengabulkan Bank Inggris untuk memiliki kekuasaan dalam menentukan suku bunga tanpa konsultasi ke pemerintah.
Kritikus menyebut, ekonomi era Blair tumbuh dengan mantap tetapi dibebani oleh produktivitas rendah dan meningkatnya volume utang pribadi dan negara.
Selain itu, pada masanya Blair banyak dikritik karena mengizinkan jutaan pekerja migran berkemampuan rendah untuk bermukim di Inggris.
Pemerintahannya juga menandatangani Bab Sosial Perjanjian Maastricht. Ia juga memprakasai reformasi House of Commons.
Dekade Blair, dipandang dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus dan Bank Inggris yang menjadi mandiri.
Peran Blair dalam memulihkan perdamaian di Irlandia Utara disebut sebagai peninggalan pemerintahannya yang abadi.
Namun banyak kritikus yang menilai, Blair terlalu mengejar kebijakan jangka pendek yang membingungkan dan membuat Inggris mengabaikan bidang-bidang penting. (Nur Rohmi Aida)
.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tony Blair, Mantan Perdana Menteri Inggris yang Jadi Anggota Dewan Pengarah Ibu Kota Baru"