Penjelasan BMKG Bagaimana Fenomena Gerhana Matahari Cincin Bisa Terjadi
Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk shalat saat terjadi gerhana.Shalat gerhana dilakakukan gerhana muncul sampai gerhana menghilang.
Penulis: Dwi Latifatul Fajri | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA.COM - Fenomena gerhana matahari cincin saat ini sedang berlangsung. Badan Meteorologi dan Geofisika sedang melakukan live streaming pengamatan gerhana matahari cincin.
Fenomena ini terjadi setiap 1-2 tahun sekali.
Gerhana matahari merupakan peristiswa cahaya matahari oleh bulan, sehingga sebagian cahaya tidak sampai bumi.
Ketika matahari, bulan dan bumi tepat segaris maka terjadi gerhana matahari.
Bulan akan berada di titik apogee, sementara piringan bulan akan tampak lebih kecil daripada piringan matahari dan tidak akan menutupi piringan matahari sepenuhnya.
Lalu kerucut umbra tidak sampai ke permukaan bumi sehingga membentuk kerucut tambahan yang disebut autumbra.
Pengamat yang berada di wilayah autumbra akan melihat matahari tampak seperti cincin.
Kepala Biro Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) Akhmad Taufan Maulana, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (22/12/2019), gerhana matahari cincin melewati sejumlah wilayah di Indonesia.
Di Indonesia GMC melewati 25 kota dan kabupaten di Indonesia.
Sementara itu, Pada 26 Desember 2019 GMC dapat diamati di beberapa negara seperti Afrika bagian timur, seluruh wilayah Asia, Samudra India, Australia bagian utara, dan wilayah Samudera Pasifik.
Selain shalat sunat gerhana, umat muslim disarankan untuk membaca doa dan berdzikir saat terjadi gerhana.
Fenomena GMC merupakan salah satu fenomena alam tanda keagungan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berdoa, dzikir dan shalat saat terjadi gerhana.
Mengutip dari Rumaysho.com, ada hukum untuk mengerjakan shalat gerhana matahari.
Menurut pendapat yang terkuat, siapapun yang melihat gerhana matahari dengan mata telanjang maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
Artinya : ”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.”
Hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (artinya jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah).
Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Jika suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak diharuskan untuk melakukan shalat gerhana. Hadits ini ditujukan untuk umat muslim yang melihat gerhana.
Waktu pelaksanaan shalat gerhana
Waktu shalat gerhana adalah muncul gerhana sampai gerhana matahari itu hilang. Shalat gerhana dilakukan dua rekaat.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
Artinya : ”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).”
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jika gerhana muncul setelah Ashar, maka waktu terlarang untuk shalat boleh dilaksanakan untuk shalat gerhana. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
Artinya : ”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”4 Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Para ulama menjelaskan hukum dari shalat gerhana adalah sunnah muakkad bagi laki-laki maupun perempuan. Shalat ini bisa dilakukan sendiri maupun berjamaah.
Salat Kusuf atau Salat Gerhana Matahari dilakukan dua rakaat dengan rangkaian sebagai berikut, dikutip dari Rumaysho.com :
1. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.
2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11. Tasyahud.
12. Salam.
(*)
(Tribunjogja.com | Dwi Latifatul Fajri)