Travel
Awalnya Dianggap Gulma, Kini Amarilis Jadi Primadona
Bunga bernama latin Amaryllis ini hanya tumbuh setahun sekali saat awal musim hujan. Itu pun hanya mekar selama 3 minggu.
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Alexander Ermando
TRIBUNJOGJA.COM - Musim hujan akhirnya kembali datang setelah kemarau panjang berbulan-bulan.
Warga Yogyakarta pun turut bersukacita karena hujan mulai mengguyur dan membawa hawa yang lebih segar.
Tidak hanya itu, hujan juga membawa momen spesial bagi Sukadi, warga Dusun Ngasemayu, Salam, Patuk, Gunungkidul.
Pasalnya, hamparan bunga Amarilis miliknya kembali mekar tahun ini.
• Deretan Wisata Jogja Hits di Bulan Desember : Kebun Amarilis Hingga Ladang Jagung yang Memukau
Menurut Sukadi, bunga bernama latin Amaryllis ini hanya tumbuh setahun sekali saat awal musim hujan.
Itu pun hanya mekar selama 3 minggu.
"Sekarang ini sudah hari ke-17 atau sudah mulai masuk minggu ke-3," papar Sukadi saat ditemui pada Senin (16/12/2019) di kediamannya.
Apa yang dikatakan Sukadi tidak salah, sebagian petak bunga Amarilis di lahan seluas 3.500 meter persegi miliknya memang sudah tampak layu.
Namun sebagian lainnya masih mekar dan tampak mencolok dengan warna merahnya.
Beberapa wisatawan pun masih terlihat berdatangan meski bukan akhir pekan.
Saat ini Amarilis begitu dipuja, terutama oleh warganet sebagai obyek fotografi untuk media sosial.
• Tutorial Super Mudah Menghilangkan Kantong Mata
Namun siapa sangka jika bunga yang disebut Brambang Procot oleh warga ini dianggap mengganggu lahan perkebunan.
Sukadi menuturkan, ia mulai berinisiatif mengembangkan Amarilis pada 2002 silam.
Saat itu, warga sekitar menganggapnya sebagai gulma bagi tanaman jagung dan kacang-kacangan.
"Oleh warga Amarilis banyak dibasmi, tapi saya justru ingin menyelamatkan tanaman ini," kata pria berperawakan kurus ini.
Ia pun kemudian mengambil bibit bunga itu dari para petani, dengan cara dibeli.
Kemudian ia coba menjual bibit tersebut di pinggir Jalan Wonosari tak jauh dari halaman rumahnya.
Namun inisiatifnya itu justru sempat diremehkan warga sekitar.
• Mulai Bermekaran, Kebun Amarilis di Patuk jadi Obyek Wisata Dadakan
Sebab Amarilis waktu itu tidak dianggap sebagai tanaman yang berharga dan memiliki potensi.
"Saya justru sempat jadi tertawaan juga, dilihat sama pengendara yang hanya lewat tanpa tertarik untuk membeli," ujar Sukadi.
Tak habis akal, Sukadi lalu turut menanam Amarilis di lahan miliknya.
Saat musim hujan, bunga-bunga tersebut mekar.
Sekitar 2015, lahan Amarilis Sukadi mulai mencuri perhatian di media sosial.
Ironisnya, Amarilis dikenal justru bukan karena kecantikannya, melainkan saat itu bunga-bunga tersebut menjadi rusak lantaran dimanfaatkan pengunjung untuk berfoto-foto.
"Saya sempat putus asa, namun ada banyak kelompok masyarakat yang peduli dan ikut membantu untuk ditanam ulang," jelas Sukadi.
• 7 Daftar Tempat Wisata di Jogja untuk Isi Libur Natal dan Tahun Baru 2020
Sejak saat itu hingga sekarang, kebun Amarilis Sukadi jadi primadona wisatawan dan penanda datangnya musim hujan.
Bahkan warga sekitar ikut menanam bunga tersebut setelah melihat kesuksesan Sukadi.
Sukadi sendiri mengenakan tarif secara sukarela sebesar Rp 10 ribu bagi pengunjung dewasa.
Posisinya pun sangat strategis karena persis berada di pinggir Jalan Wonosari Km 19.
Maka tak heran jika banyak pengendara yang sekedar datang untuk berfoto-foto, lalu pergi lagi untuk melanjutkan perjalanannya.
Sukadi juga tidak mempermasalahkan jika ada pengunjung yang tidak ingin membayar.
"Jika warga tidak ingin membayar juga tidak apa-apa. Tapi biaya tersebut saya terapkan terutama untuk perawatan Amarilis ke depannya supaya tetap ada tiap tahun," kata Sukadi. (TRIBUNJOGJA.COM)