Legenda Penguasa Laut Kidul, Garis Imajiner Keraton Yogyakarta Hingga Gunung Merapi
Legenda Nyi Roro Kidul memang tenar di kalangan masyarakat. Konon katanya, siapa yang mengenakan baju hijau akan diculik penguasa pantai selatan itu.
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA.COM - Legenda Nyi Roro Kidul jadi salah satu bahasan yang tak populer di kalangan masyarakat tertentu dari waktu ke waktu.
Berbagai mitos muncul menyelimutinya mulai disebut penguasan Laut Selatan hingga diidentikan dengan mengenakan pakaian hijau.
Oleh sebab itu ada informasi umum disebagian agar tak mengenakan pakaian warna hijau ketika wisata ke Laut Selatan.
Ada yang percaya, tak sedikit pula yang meragukan mitos itu.
Bahkan paling ekstrem ada kelakukan warganet yang sempat memposting undangan terbuka kepada netizen untuk mendatangi Pantai Parangtritis pakai baju hijau pada 22 September 2019.
Menurut Alfi, ia terinspirasi dari ajakan serupa yang tersebar di Amerika Serikat mendatangi Area 51, area misterius yang dipercaya jadi tempat tinggal alien.

Alfi sendiri tidak menyangka kalau ajakan bercandanya bakal viral, hingga belasan ribu orang menyatakan tertarik menghadiri undangan itu.
Akan tetapi, Alfi sudah minta maaf lantaran sudah membuat heboh dunia media sosial.

Laut Selatan
Melansir Kompas.com, Nyi Roro Kidul juga disebut dalam cerita yang membahas seputar berdirinya kerajaan Mataram Islam.
Dalam beberapa cerita, digambarkan raja-raja jaman dahulu, jika hendak mendapatkan posisi di kerajaan diharuskan ijin terlebih dahulu kepada Sang Ratu yang dipercaya sebagai penguasa laut selatan.
Namun, seorang sejarawan Bambang Purwanto yang merupakan Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), mencoba memaknai lain seputar misteri Nyi Roro Kidul.
Pihaknya mengajak untuk mereinterpretasi posisi Ratu Kidul, bukan hanya dalam khazanah kepercayaan.
Menurutnya, seperti diberitakan Kompas.id (10/03/2018), cerita Ratu Kidul merupakan cara masyarakat dulu memahami realitas.
“Di baliknya ada pengalaman empiris tentang kedahsyatan Laut Selatan Jawa,” kata Bambang.
Pengalaman empiris yang dimaksud adalah tsunami besar di Laut Selatan.
Sejarawan Anthony Reid dari Australian National University (2012), seperti diberitakan Kompas.id (28/07/2017) juga berpendapat, mitologi Ratu Kidul ini kemungkinan berkaitan dengan bencana tsunami.
Reid mendasarkan hipotesisnya setelah mengkaji petikan tembang dandang gula dari Babad Ing Sangkala yang ditulis pada 1738.
Dari segala kemisteriusan sosok Nyi Roro Kidul, Pantai Laut Selatan tak terpungkiri merupakan lokasi yang menyimpan banyak potensi keindahan.
Setiap akhir pekan, Pantai Parangtritis ini banyak diminati sebagai destinasi wisata di Yogyakarta.
Tak sedikit masyarakat yang berkunjung ke sini untuk melihat desiran ombak yang menggulung hingga permukaan.
Garis Imajiner Gunung Merapi, Keraton, Hingga Laut Selatan
Keraton Yogyakarta menjadi pusat konsep tata ruang di DIY.
Tata ruang daerah ini memiliki keistimewaan berupa garis imajiner yang masih satu garis lurus, terbentang dari Gunung Merapi, Kraton, hingga laut selatan.
Selain garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis yakni Tugu, Keraton dan Panggung Krapyak, yang dihubungkan secara nyata berupa jalan.
Sumbu filosofis itu melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam.
Seperti dikutip dari laman etd.repository.ugm.ac.id, Panggung Krapyak ke utara hingga Kraton melambangkan sejak bayi dari lahir, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak.
Sedangkan dari Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta.
Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak juga merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan.
Dari kesemuanya itu, Keraton Yogyakarta menjadi pusatnya.
Keraton Yogyakarta dianggap suci karena diapit enam sungai secara simetris yaitu sungai Code, Gajah Wong, Opak Winongo, Bedhog dan sungai Progo.
Ada pula Gunung Merapi dan Pantai Selatan yang menjadi ujung garis imajiner, dengan Keraton berada tepat di tengah-tengah keduanya.
Jauh hari sebelum kasultanan ini berdiri, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah memikirkan konsep penataan kota yang demikian unik.
Gunung Merapi, pasak penyeimbang Pulau Jawa
Konon dahulu kala, Pulau Jawa tidak seimbang seperti sekarang.
Melainkan miring ke sebelah barat. Ini karena di ujung barat, terdapat banyak gunung, sementara di bagian tengah dan timur tidak ada.
Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi menyebutkan bahwa untuk menyeimbangkan pulau jawa itulah, Dewa Krincingwesi kemudian memerintahkan untuk memindahkan Gunung Jamurdwipa di barat Pulau Jawa, ke tengah pulau jawa, tempat sekarang berdirinya Gunung Merapi.
Namun pemindahan Gunung Jamurdwipa ini menghadapi kendala.
Salah satunya lantaran ada dua orang empu sakti yang hidup di tengah pulau jawa. Keduanya yakni kakak beradik Empu Rama dan Permadi.
Para Dewa yang mendatangi kedua empu ini pun mengakui kesaktiannya.
Mereka meminta keduanya untuk berpindah karena tempat tersebut akan menjadi tempat ditancapkannya pasak bumi penyeimbang pulau jawa.
Namun kedua empu ini menolak dengan alasan mereka tengah mengerjakan keris yang harus dikerjakan hingga selesai. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan.
Mendengar hal itu, Dewa Krincingwesi murka lalu menjatuhkan Gunung Jamurdwipa diatas mereka. Kedua empu ini terkubur hidup-hidup.
Roh keduanya dipercayai menjadi penjaga Gunung Merapi hingga sekarang.
Keduanya bahkan menjabat sebagai raja dari semua makhlus halus di Merapi.
Sementara perapian tempat mereka membuat keris, menjadi cikal bakal penamaan merapi.
Perapian ini juga yang diyakini sebagai cikal bakal lahar panas Gunung Merapi.
Gunung Merapi
Cerita lainnya menyebutkan bahwa Gunung Merapi dulunya berasal dari bagian dari Gunung Himalaya.
Kisah nyaris sama yakni para dewa saat itu membutuhkan patok untuk menyeimbangkan pulau jawa.
Namun, cerita yang satu ini agak berbeda dalam hal asal pembentukan Gunung Merapi.
Disebutkan bahwa Bathara Bayu diperintah Hyang Guru untuk mengambil bagian Gunung Himalaya untuk ditancapkan di Pulau Jawa.
Namun dalam perjalanannya, bagian-bagian gunung ini jatuh di bagian barat pulau jawa.
Bagian pangkal gunung himalaya ini jatuh berkeping-keping hingga menyebar dan menjadi sejumlah gunung di Jawa Barat semisal Gunung Guntur, Gunung Pangrango, Gunung Tangkuban Perahu, dll.
Bathara Bayu kemudian terbang ke wilayah tengah pulau jawa. Lalu menjatuhkan bagian lambung gunung himalaya. Jatuhnya sangat keras hingga jatuh berkeping-keping pula.
Ini menjadi cikal bakal sejumlah gunung di wilayah tengah pulau jawa.
Semisal Gunung Slamet, Sindoro, Merbabu, Sumbing, Lawu dan Gunung Merapi sendiri.
Sementara di bagian timur, bagian gunung himalaya berubah menjadi Gunung Semeru, Gunung Mahameru dan sejumlah gunung lainnya.
Adapun kisah keberadaan Empu Rama dan Permadi juga muncul di kisah ini.
Namun ada satu tokoh lagi yang muncul yakni Nyai Gadung Melati, sahabat kedua empu.
Saat bagian Gunung Himalaya dijatuhkan, ketiganya tengah bersemedi.
Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan cara memukul tanah hingga menghasilkan rekahan tanah menjadi terowongan mereka untuk menyemalatkan diri.
Terowongan ini kemudian menjadi cikal bakal Telaga Putri, Telaga Nirmala dan Telaga Muncar.
Lantaran perapian mereka telah rusak dan berubah menjadi gunung, maka Empu Rama kemudian memutuskan untuk membuat pusaka di wilayah timur, sedangkan empu permadi bertugas di wilayah barat.
Sementara para sahabatnya diperkenankan untuk menjaga di wilayah tengah. Mereka antara lain, Nyai Gadung Melati, Prabu Jagat, dll.
Mereka menghuni Kedaton Watu Garuda, Kawah Gendol, Geger Boyo, Gunung Kendil, Plawangan, serta Turgo.
Demikianlah berbagai kisah mitologi yang menyebar sebagai cerita rakyat. Anda boleh percaya boleh tidak. (*)