Family
Stop Labeling Pada Anak
Stop Labeling Pada Anak Karena Bisa Mempengaruhi Kepercayaan Diri Pada Sang Anak
Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - "Sayang endut, kriwil sudah gosok gigi ?" "Dasar endut, gembil, makan melulu," Kalimat kalimat tersebut mungkin sudah terdengar biasa di lingkungan sekitar.
Biasanya kerap orang tua atau orang dewasa mengungkapkan rasa sayang terhadap anak dengan sapaan yang menggunakan identifikasi fisik.
Barangkali soal ini membuat sebagian orang tua belum merasakan dampak memberi label secara fisik terhadap anaknya.
Namun, ada sebagian orang tua yang merasakan dampak yang kurang baik ketika secara tidak sadar ungkapan atau sapaan sayang dengan menyebut nama anak atau panggilan sayang dengan menambah embel-embel ciri fisik di belakangnya.
Hal ini dialami oleh Andriani, perempuan yang bekerja sebagai seorang broadcaster ini kaget bukan kepalang ketika anaknya yang baru duduk di bangku kelas 1 SD, berusia enam tahun tiba tiba mengungkapkan bahwa dirinya merasa gendut lalu berujung tak mau melanjutkan makan.
• 5 Rekomedasi Wisata Pantai di Gunungkidul yang Asyik untuk Santai Hingga Snorkling
• Ketika Mulan Jameela Merindukan Ahmad Dhani, Begini Panggilan Sayangnya
Andri pun menyadari anaknya pernah mendapat labeling dengan kata kata gendut dari adiknya atau om dari anaknya yang memang dekat dengan si anak.
Adik kandung Andri memang salah satu orang yang sayang dan dekat dengan putrinya.
Barangkali ucapan atau ungkapan sayang adiknya tersebut lah yang tak disadari justru memberi label fisik pada anaknya.
Ternyata dikemudian hari, label ini kemudian melekat pada si anak dan bisa jadi anak ketika sudah waktunya mengungkapkan perasaan atas label fisik yang ia dapat, akhirnya membuat anak tak percaya diri.
"Biasanya memang kadang manggil begitu, gembil, ndut lagi apa? omnya juga suka usil. Ternyata saya baca-baca bisa pengaruh ke kepercayaan diri anak. Sejak saat itu, aku bilang ke om nya hindari memanggil dengan ciri fisik," kata Andri.
Senada diungkapkan Ajeng, ibu satu anak yang berprofesi sebagai mentor enterpreneur ini juga sependapat menghindari labeling fisik kepada anak.
Menurut Ajeng, bakal jauh lebih baik ketika memanggil anak dengan nama saja atau panggilan sayang.
"Aku biasakan panggil anakku sayang, atau nama saja. Memang beberapa kawan mungkin ngga sadar, memanggil anaknya sendiri dengan ciri fisik, misalnya ndut atau ciri sikap, hei anak mama yang suka marah, menurutku itu juga kurang baik," kata Ajeng.
• Kalinampu Natural Park, Destinasi Wisata Ala Jepang di Tepian Kali Opak
Lain halnya dengan Anggraeni, ibu dua anak yang masih balita ini, membiasakan anaknya dengan panggilan memuji.
Misalnya ia panggil anak pertamanya dengan mas ganteng. Menurut Anggraeni, panggilan memuji adalah salah satu cara membuat anaknya merasa dihargai oleh orang tuanya.
"Sama sama memanggil anak lebih baik jika sekalian memberi pujian. Kenapa ada yang masih memanggil anaknya dengan ciri fisik, menurutku kurang baik, bisa jadi labeling anak itu kebawa ke luar rumah dan si anak jadi malu atau tidak pede," kata Anggraeni.
Bantu Anak Kenali Kelebihannya
Lucia Peppy Novianti, M. Psi., Psikolog, psikolog yang aktif di dunia parenting dan founder Wiloka Workshop ini menuturkan, misalnya ada orang tua lalu yang mengetahui atau mendengar anaknya mendapat label tertentu, termasuk yang negatif, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendengarkan pendapat anak tentang hal tersebut.
Menurut Peppy, bisa saja anak tidak mempersepsi labeling tersebut sebagai ejekan atau bullying. Jadi intinya pahami dulu hal tersebut dari kacamata anak.
Bila kemudian anak memang mempersepsi bahwa sebutan tersebut memang menyakitkan baginya maka ajak anak untuk mengurai emosi apa yang dirasakan anak, apa sebabnya, apa yang dirasakan dan apakah ada dampak yang dirasakan tidak enak tersebut terhadap dirinya atau tubuhnya.
"Ada beberapa anak yang ternyata memiliki emosi negatif terhadap si pemberi label daripada label negatif yang diberikan. Maka perlu dipastikan terlebih dahulu. Labeling ini dapat berpengaruh terhadap beberapa hal, terutama terkait kepercayaan diri, persepsi diri, definisi diri maupun bagaimana motivasi untuk mengembangkan diri," terang Peppy.
• 6 Destinasi Wisata Yogyakarta Tawarkan Keunikan Arsitektur, Ada yang Sempat Trending di Instagram
Namun demikian, menurut Peppy, orang tua tidak perlu menjadi panik atau ketakutan berlebihan ketika anaknya mendapat label dari lingkungan atau temannya.
Setelah memberikan respon awal berupa mendengarkan dan memahami dari kacamata anak, lalu lanjutkan dengan berfokus membangun identitas anak berdasarkan hal positif yang ada pada diri anak.
Bantu anak untuk dapat mengenali bagaimana sisi positif dirinya tersebut dapat bermanfaat terhadap kehidupannya.
Misalnya anak memiliki minus mata tebal sehingga tidak bisa bebas bermain bola bersama temannya, lalu diejek sebagai mata kaleng.
"Nah orang tua dapat mengajak anak mengenali apa kelebihannya, misal ternyata anak memiliki kelebihan dalam matematika atau bahasa inggris, ajak anak untuk mengidentifikasi hal apa yang menarik dan asik yang dapat dia lakukan dengan matematika atau bahasa inggris ini sehingga ia bisa bangga dan menunjukkan kepada teman temannya," imbuh Peppy. (Tribunjogja I Yudha Kristiawan)