Kisah Desa Penari di Gunungkidul yang Terancam Mati

Dusun Badongan, Desa Karangsari, Kecamatan Semin merupakan desa yang berada di sebelah di Utara Kabupaten Gununugkidul.

Penulis: Wisang Seto Pangaribowo | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com | Wisang Seto Pangaribowo
Gunem saat mempraktikkan Tari Tayub dan memperlihatkan piagam pebghargaan dari Bupati Gunungkidul, saat ditemui di rumahnya, Kamis (19/9/2019) 

Dusun Badongan, Desa Karangsari, Kecamatan Semin merupakan desa yang berada di sebelah di Utara Kabupaten Gununugkidul. Dulunya desa tersebut dikenal sebagai pusat penari Tayub, disanalah penari Tayub Gunungkidul muncul.

.

.

Mbah Gunem menunjukan piagam penghargaan dari Bupati Gunungkidul sebagai pelestari kesenian tayub
Mbah Gunem menunjukan piagam penghargaan dari Bupati Gunungkidul sebagai pelestari kesenian tayub (Tribun Jogja/Wisang Seto Pangaribowo)


Berbeda dengan cerita Viral KKN di Desa Penari beberapa waktu lalu yang dikaitkan dengan kisah mistis.

Desa Karangsari yang awal adalah desa penari, namun kini tak ada satu pun remaja putri yang meneruskan seni tradisi Tari Tayub disana. Berlahan tapi pasti penari tayub Karangsari terancam mati.

Kini, hanya tinggal 3 orang penari tayub di desa ini itupun telah menginjak usia senja.

Satu diantaranya menjadi sesepuh tari tayub bernama Mbah Gunem.

Hingga saat ini dirinya masih aktif menari Tayub ke berbagai daerah.

Dari sekitaran Gunungkidul hingga luar Gunungkidul seperti ke Purworejo dan Wonosobo, Jawa Tengah.

Mbah Gunem lahir dari keluarga kurang mampu, saat dirinya menginjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) ia ingin menghasilkan uang untuk hidup sehari-hari.

Tari Tayub dulunya populer di Gunnungkidul dan sekitarnya, ia bersama kelompok sering ditanggap (diundang) untuk menari diberbagai kegiatan seperti bersih dusun, atau merti dusun.

"Kalau soal sejarah apa itu Tayub dan kapan mulai masuk ke Gunungkidul saya tidak mengetahui secara persis. Ada yang lebih paham mengenai sejarah tari Tayub namun sudah meninggal dan belum diturunkan kepada generasi penerus," ucap Gunem saat ditemui di rumahnya, Kamis (19/9/2019).

Menurut Mbah Gunem generasi milenial setelah menginjak remaja atau dewasa lebih memilih untuk merantau ke Jakarta dari pada menjadi seorang penari Tayub, termasuk anak-anak usia dini juga enggan untuk mempelajari tari Tayub.

Bulan depan dirinya mendapatkan undangan untuk pentas di Wonosobo, Jawa Tengah.

Ia menceritakan setiap tahun dirinya mendapatkan undangan untuk pentas di Wonosobo, dan Purworejo.

Meskipun sudah tidak lagi menari dirinya selalu ikut mendampingi para penari Tayub dari Dusun Badongan, Desa Karangsari, Kecamatan Semin.

Berbagai halangan dirinya lewati bersama kelompok Tari Tayub Legorini.

Hambatan yang dihadapi seperti kekurangan penari ketika ketiga penari berhalangan untuk ikut dalam sebuah pentas.

Untuk mengatasi hal tersebut ddrinya mencari penari lain yang tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan tari Tayub.

Kisah Anak Indigo Menembus Desa Penari, Sosok Penjaga Ayu dan Bima Kabur Lihat Jin di Lokasi KKN

Kisah Sendang Bengkung dan Beji yang Tak Pernah Kering Kerontang Meski Kemarau Panjang

"Mau tidak mau ya saya carikan penari lain biasanya dari campursari. Kalau ada yang paham mengenai tari Tayub pasti akan tahu bahwa yang menari bukan asli penari Tayub, yang membedakan adalah gerakannya kalau yang tidak terbiasa pasti terlihat kaku," ujarnya.

Ia menceritakan satu kali pertunjukkan tari Tayub dimulai dari sore hari hingga fajar menjelang barulah tari Tayub selesai dipentaskan.

Gunem menjelaskan sebelum Tari Tayub dipentaskan terlebih dahulu melakukan ritual, barulah setelah itu tarian Tayub dipentaskan.

"Mulai sore hari, lalu saat mahrib istirahat dan jam 9 mulai lagi hingga pagi jam 3-4 ," katanya.

Sekali pentas kelompoknya mendapatkan bayaran Rp 5 juta itupun dibagi keseluruh kelompoknya dari mulai penari hingga pengiring atau pemain gamelan.

Namun para penari biasanya mendapatkan penghasilan lebih yaitu dari orang-orang yang memberikan uang saat menari (saweran).

"Dulu awal-awal ikut Tayub bayaran ya hanya Rp 10 ribu itu dulu kalau sekarang mungkin sebesar Rp 500 ribu," kenang nenek dengan 4 orang cucu tersebut.

Saat ini, dirinya belum mengetahui siapa yang akan mewariskan tari Tayub dan hanya bisa pasrah saja melihat kondisi saat ini.

Bukit Penguk Kediwung, Destinasi Wisata Alam di Yogyakarta

Penampakan Rowo Banyu dari Udara Tempat yang Dikaitkan Kisah KKN Desa Penari

Tahun 2014 lalu dirinya mendapatkan piagam penghargaan dari Bupati Gunungkidul, Badingah.

"Tahun 70an saya sempat diundang ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk pentas Tari tayub," katanya.

Gunem berharap ada penerus Tari Tayub sehingga tarian ini dapat tetap dilestarikan hingga generasi selanjutnya.

Penari Tari Tayub, Purwanti (44), mengatakan saat ini tinggal dirinya dan dua tetangganya yang ikut dalam tari tayub.

Ia mengatakan saat ini tari Tayub tidak sepopuler kesenian lain seperti Campursari.

"Dulu kepengen ikut saja karena ibu saya juga seorang penari Tayub. Ditambah lagi saat itu juga kekurangan tari Tayub, adik saya sudah tidak ikut menari Tayub karena sudah menikah," katanya.

Ia menjelaskan bagian tari Tayub yang tidak bisa ditiru oleh penari lainnya adalah gerakan Gambyong dan ukel.

"Kalau penari Tayub asli pasti terlihat lebih luwes. Pengennya ada regenerasi untuk penari Tayub sampai saat ini belum ada yang berminat untuk meneruskan," pungkasnya. ( Tribunjogja.com l Wisang Seto )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved