Arti Mubeng Benteng, Tradisi 1 Suro di Yogyakarta yang Sarat Makna

Warga Yogyakarta selalu menggelar tradisi Mubeng Beteng bersama para abdi dalem kraton pada malam 1 Suro setiap tahunnya. Sebuah tradisi sarat makna

Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM / Bramasto Adhy
Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018). 

Mubeng Beteng, Tradisi Malam 1 Suro Sarat Makna di Yogyakarta

1 Suro atau tahun baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah akan jatuh pada tanggal 1 September 2019.

Bagi orang Jawa, malam 1 Suro dinilai memiliki makna mistis lebih dalam dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Pada malam 1 Suro para penganut Kejawen (kepercayaan tradisional masyarakat jawa) akan menyucikan dirinya berikut benda-benda yang diyakini sebagai pusaka.

1 Suro 2019 Jatuh Pada Tanggal 1 September, Amalan yang Dianjurkan Rasulullah SAW di Bulan Muharram

Sejumlah kraton, semisal Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon bahkan punya tradisi masing-masing untuk merayakan 1 Suro.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta sedang membersihkan kereta Kanjeng Nyai Jimat di Museum Rotowijayan, Selasa (17/10/2017. Jamasan kereta ini dilakukan rutin sekali setahun di bulan Suro.
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta sedang membersihkan kereta Kanjeng Nyai Jimat di Museum Rotowijayan, Selasa (17/10/2017. Jamasan kereta ini dilakukan rutin sekali setahun di bulan Suro. (TRIBUNJOGJA.COM / Dwi Nourma Handito)

Kraton Surakarta misalnya. Pada malam 1 Suro biasanya akan menjamas (memandikan) pusaka-pusaka kraton termasuk mengirab kerbau bule, Kiai Slamet.

Sementara di Yogyakarta, ada tradisi jamasan dan tradisi mubeng beteng Kraton Yogyakarta.

Mengapa Malam 1 Suro Dikaitkan dengan Hal Mistik? Ini Sejarah dan Asal-usulnya dalam Budaya Jawa

Mubeng Beteng merupakan tradisi yang dilakukan setiap 1 Suro sesuai penanggalan kalender Jawa.

Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018).
Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018). (TRIBUNJOGJA.COM / Bramasto Adhy)

Secara adat tradisi, masyarakat Jawa khususnya di lingkungan Kraton masih menggunakan kalender tersebut sebagai patokan.

Kalender Jawa sendiri memiliki sistem yang hampir mirip dengan Kalender Hijriah.

Pembedanya adalah hitung-hitungan matematisnya.

Secara kebetulan, 1 Suro terkadang bisa berbarengan dengan 1 Muharram pada kalender Hijriah.

"Kalau yang ini bisa dikatakan selisih satu hari, karena 1 Suro dimulai tepat setelah maghrib tadi," jelas KRT Wijoyo Pamungkas, Carik Tepas Ndwara Pura dari Keraton Yogyakarta saat pelaksanaan Mubeng Beteng pada 2018 lalu.

Makna Tradisi Mubeng Beteng

Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018).
Prosesi mubeng beteng diawali dari komplek Kraton Yogyakarta, Selasa (11/9/2018). (TRIBUNJOGJA.COM / Bramasto Adhy)

Tradisi Mubeng Beteng diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama.

Ia jugalah yang mencetuskan sistem penanggalan Jawa tersebut.

Dulunya, ritual ini dilakukan oleh para prajurit Keraton.

Tidak sekedar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Kraton.

Lantaran saat itu belum ada benteng yang mengitarinya

Kidung Macapat sebagai rangkaian acara Mubeng Beteng di Keben, Keraton Yogyakarta, Selasa (11/09/2018) malam
Kidung Macapat sebagai rangkaian acara Mubeng Beteng di Keben, Keraton Yogyakarta, Selasa (11/09/2018) malam (Tribun Jogja/ Alexander Ermando)

"Mereka berjaga sambil berdoa mohon kedamaian dan keselamatan untuk pemimpin," kata Wijoyo.

Sebagai tradisi, Mubeng Beteng tidak mengalami perubahan sedikitpun sejak pertama kali dilakukan.

Semuanya masih sama, di mana ritual tersebut memutar mulai dari sisi kiri atau barat Kraton.

Arah ini sesuai falsafah Jawa.

Kiri dalam bahasa Jawa berarti Kiwo.

Dalam Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng, sejumlah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membawa klebet (bendera). Jumat (22/9/2017) dini hari.
Dalam Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng, sejumlah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat membawa klebet (bendera). Jumat (22/9/2017) dini hari. (tribunjogja/yudha kristiawan)

Menurut Wijoyo, tujuan Mubeng Beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.

"Selama berjalan mengitari beteng, warga harus dalam posisi Tapa Bisu. Tidak boleh berbicara dan melakukan hal negatif. Fokusnya adalah permohonan pada yang Mahakuasa," papar Wijoyo.

Mengingat tradisi ini masih dianggap sakral dan menarik, tak heran jika ribuan orang rela ikut berjalan kaki.

Sejarah Malam 1 Suro

Nama lain malam 1 Suro adalah malam 1 Muharam dalam penanggalan Hijriyah atau Islam.

Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi dekat.

Khususnya sejak zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).

Ratusan warga mengikuti ritual Topo Bisu Mubeng Benteng di komplek Keraton Yogyakarta, Sabtu (25/10/2014) dini hari.
Ratusan warga mengikuti ritual Topo Bisu Mubeng Benteng di komplek Keraton Yogyakarta, Sabtu (25/10/2014) dini hari. (Tribun Jogja/Santo Ari)

Penanggalan Hijriyah memang di awali bulan Muharam. Oleh Sultan Agung kemudian dinamai bulan Suro.

Kala itu Sultan Agung berinisiatif mengubah sistem kalender Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Hindu.

Sultan terbesar Mataram tersebut lantas memadupadankan kalender Saka dengan penanggalan Hijriyah.

Hal ini memang sangat unik mengingat kalender Saka berbasis sistem lunar atau Matahari sementara Hijriyah pergerakan Bulan.

Kalender Hijriyah banyak dipakai oleh masyarakat pesisir yang pengaruh Islamnya kuat, kalender Saka banyak digunakan oleh masyarakat Jawa pedalaman.

Rupanya Sultan Agung ingin mempersatukan masyarakat Jawa yang pada waktu itu agak terpecah antara kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam).

Dalam kepecayaan Kejawen, bulan Suro memang dianggap istimewa.

Muhammad Sholikhin dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa menjelaskan, penganut Kejawen percaya bulan tersebut merupakan bulan kedatangan Aji Saka ke Pulau Jawa.

Aji Saka kemudian membebaskan rakyat Jawa dari cengkeraman mahluk gaib raksasa.

Selain itu bulan ini juga dipercayai sebagai bulan kelahiran huruf Jawa.

Kepercayaan tersebut ternyata terus turun menurun hingga saat ini.

Bahkan sebagian kalangan menganggap bulan Suro, terutama malam 1 Suro punya nilai mistis tersendiri atau cenderung dianggap angker.

Malam 1 Suro 2019 jatuh pada hari Minggu 1 September 2019.

Mitos-mitos malam 1 Suro

Banyak mitos malam satu suro sering terdengar di telinga manakala hari pergantian tahun baru islam tersebut semakin dekat. Bahkan orang sekarang masih mempercayai mitos tersebut. Berikut mitos malam 1 Suro yang masih dipercaya hingga sekarang :

1. Kembalinya Arwah Leluhur Ke Rumah

Sebagian masyarakat jawa pada masa lalu lebih sakral lagi dalam menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriyah.

Banyak diantara mereka yang meyakini, bahwa di malam satu suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.

Bukan hanya itu saja, bahkan beberapa orang menambahkan peristiwa lebih seram lagi dimana mereka meyakini jika pada malam satu suro arwah dari orang-orang yang menjadi tumbal pesugihan akan dilepaskan dan diberi kebebasan pada malam tersebut sebagai hadiah pengabdiannya selama setahun penuh.

2. Dilarang Keluar Rumah

Di malam suro, kebanyakan orang dilarang rumah.

Hal ini berkaitan dengan artikel no 1.

Orang mengajarkan anak-anaknya agar tidak keluar rumah agar mereka tidak bernasib sial, lebih baik mendoakan leluhur atau kepada Tuhan YME demi kebaikan sendiri.

Khusus di Solo, kebanyak orang malah banyak yang keluar rumah.

Warga Soloraya (Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar) lebih ingin menyaksikan kirab budaya, salah satunya Kebo Bule diarak keluar dari keraton Surakarta.

3. Saat Kirab di Keraton Harus jalan kaki dari rumahnya

Dijaman sekarang berbeda pada jaman dahulu.

Dahulu memang belum ada kendaraan, maka tak heran harus menempuh perjalan menuju kirab budaya yang diadakan dari keraton harus jalan kaki.

Setelah jaman yang serba mudah ini untuk transportasi, orang jaman sekarang, khususnya warga Soloraya masih ada yang jalan kaki.

Mereka percaya, bahwa dengan jalan kaki akan membawa keberkahan sendiri dalam menikmati malam suro.

4. Tidak Boleh Melakukan Kegiatan di Malam Suro

Banyak orang disekitar kita menyakini, bahwa banyak melakukan kegiatan saat malam suro juga dikaitkan dengan kesialan.

Masyarakat luas yang nekat melakukan tidak meraih hasil yang diinginkan.

Misalnya, memancing saat malam hari.

Apabila nekat, dalam semalam saat mancing, tak akan mendapat ikan satupun.

5. Malam Satu Suro adalah Lebarannya Makhluk Gaib

Kisah ini pasti sudah kerap terdengar di telinga kita, sebagian masyarakat pada masa lalu mempercayai jika malam 1 suro merupakan lebaran bagi makhluk gaib sehingga banyak diantara mereka yang keluar dari tempat persinggahan masing-masing.

Anehnya mitos ini kerap dikaitkan dengan adanya penampakan serta gangguan makhluk halus di malam tersebut.

Entah darimana awal mitos ini muncul yang jelas mitos tersebut hingga kini masih banyak dipercaya.

Percaya atau tidak, semua kembali ke pribadi masing-masing. (TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved