Kisah Tragedi Kereta Blondo

Kisah Tragedi Blondo : Kepala Stasiun Kejar Kereta Uap yang Telanjur Meluncur ke Arah Kali Elo

Kepala Stasiun Blabak itu mengejar kereta dan berteriak-teriak sembari ngebut melewati jalan raya Blabak-Blondo-Mertoyudan yang bersisian dengan rel

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Koleksi Bagus Priyana (KTM)
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang 

Kepala Stasiun Blabak Itu Menggowes Sepeda Mengejar Kereta yang Telanjur Meluncur ke Arah Kali Elo

Laporan Reporter Tribun Jogja Setya Krisna Sumarga dari Magelang

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Koordinator Komunitas Kota Tua Magelang (KKTM) Bagus Piyana menceritakan kisah pertemuannya dengan Soekardjo Mangonwidjojo di Muntilan satu dekade lalu. Tepatnya suatu hari di bulan April 2009.

Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang
Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Soekardjo jadi narasumber utamanya karena saksi mata dan pelaku sejarah tragedi tabrakan kereta uap di selatan Jembatan Blondo, 66 tahun sebelumnya (saat wawancara dilakukan).

Baca artikel sebelumnya :

Napak Tilas Tragedi Blondo: Saat Dua Kereta Uap Bertabrakan di Magelang, Korban Bergelimpangan

Bagus menyebut saat awal berkisah, Soekarjo memperagakan cara tangan mengoperasikan mesin telegram.

Ia mencoba menggambarkan apa yang dilakukan ayahnya, saat itu Kepala Stasiun Blabak. “Tuktuktuk…tuktuktuk…tuk..tuk.tuuuk,” begitu jemari keriput Soekardjo mengetuk-ngetuk lengan kursi kayu yang didudukinya.

Ia duduk tenang, mengenakan jas tua yang rapi. Rambutnya disisir kelimis meski sudah memutih.

Soekardjo Mangoenwidjojo sangat serius menceritakan ingatan dan kenangan yang berlalu puluhan tahun.

Secara teknis, Soekardjo juga menguasai cara mengoperasikan kode morse untuk mesin telegram.

TAK BERBEKAS - Foto lokasi kecelakaan masa kini
TAK BERBEKAS - Foto lokasi kecelakaan masa kini (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Seperti ayahnya, ia pun kemudian bekerja sebagai pegawai Djawatan Kereta Api (DKA), yang pernah berubah jadi PJKA sebelum jadi PT KAI seperti sekarang.

Soekardjo bekerja di DKA dari 1950-an hingga 1970-an. Ayahnya yang terakhir bertugas di Stasiun Blabak, bekerja sejak jaringan kereta masih dioperasikan perusahaan Belanda.

Jalur kereta api Yogya-Magelang dibangun Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) Maatschappij dan dibuka pada 1 Juli 1898. Jalur diperpanjang hingga Secang 15 Mei 1903.

TAK BERBEKAS - Tidak ada lagi bekas-bekas kecelakaan kereta uap yang terjadi pada 1943
TAK BERBEKAS - Tidak ada lagi bekas-bekas kecelakaan kereta uap yang terjadi pada 1943 (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Dari Secang dibangun jalur cabang ke Parakan yang selesai 1907, dan rute ke Ambarawa lewat Bedono pada 1905.

Ketika peristiwa Blondo terjadi, Soekardjo mulai beranjak remaja, dan kerap mengikuti ayahnya saat bertugas.

Ia tak hanya mendengar cerita ayahnya, tapi melihat langsung sesudah kejadian tabrakan dua sepur kluthuk itu.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

"Tabrakan maut itu tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, benar-benar memilukan," tutur Soekardjo terbata-bata di hadapan Bagus.

Matanya kadang nanar sembari membuka memori ingatannya.

Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang
Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Ia sudah lupa persis hari dan pasaran peristiwa itu. Namun ia ingat petaka itu berlangsung di masa awal Jepang mulai mencengkeram Magelang dan sekitarnya.

Kecelakaan diawali ketika sebuah rangkaian kereta uap dari Yogyakarta tiba di Stasiun Blabak.

Dari arah Magelang juga berhenti rangkaian kereta uap di Stasiun Mertoyudan. Kereta itu membawa muatan beras.

"Ada rangkaian kereta api tujuh gerbong mengangkut beras berangkat dan merayapi jalur dari Stasiun Mertoyudan, menuju Stasiun Blondo, sebelum melintasi jembatan rel Kali Elo," tutur Soekardjo.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Rupanya rangkaian kereta dari Yogya di Stasiun Blabak kemudian juga diberangkatkan sesudah kereta dari arah berlawanan mencapai Mertoyudan. Loko kereta ini menarik empat gerbong, terdiri satu gerbong barang dan sisanya penuh muatan orang.

Ayah Soekardjo terkesiap begitu menerima kabar lewat telegram, kereta dari arah Mertoyudan bergerak menuju arah stasiun yang dijaganya. Padahal ia baru saja meluncurkan kereta dari arah Yogya.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Ia membalas telegram itu dan meminta Stasiun Mertoyudan menghentikan kereta bermuatan beras tersebut supaya tidak terjadi tabrakan.

"Sudah terlambat!" kata Soekardjo.

Apa yang dilakukan ayah Soekardjo? Ia langsung keluar stasiun, menyambar sepeda pancal, menggenjotnya sekuat tenaga kereta yang bergerak meninggalkan Blabak ke arah Blondo.

Kepala Stasiun Blabak itu mengejar kereta dan berteriak-teriak sembari ngebut melewati jalan raya Blabak-Blondo-Mertoyudan yang bersisian dengan jalur kereta api.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Ia tahu jika kereta tidak bisa dihentikan, sudah pasti akan terjadi tabrakan adu kepala.

Apa daya, usaha mati-matian yang dilakukanya tidak membuahkan hasil. Ia kalah cepat.

Kereta dari arah Blabak terus meluncur dan dari arah seberang loko kereta yang satu sudah muncul menikung di jalur sebelah utara jembatan Kali Elo. Begitu rangkaian kereta melewati jembatan Blondo, tabrakan tak terhindarkan.

Soekardjo menyusul ayahnya ke lokasi kejadian menggunakan sepeda angin. Ia menyaksikan suasana mengerikan dari kejauhan.

Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang
Foto hitam putih memperlihatkan rangkaian kereta uap yang saling bertabrakan di Blondo, Magelang (Koleksi Bagus Priyana (KTM))

Korban bergelimpangan, baik di dalam maupun di luar gerbong yang berserakan terjungkal dari rel.

Begitu juga berkarung-karung beras muntah dari gerbong-gerbong yang membawanya.

Ayah Soekardjo pun merasa bersalah atas tragedi ini.

Ia yang memberangkatkan kereta dari Blabak menuju Magelang, dan baru tahu di saat yang sama kereta dari arah Magelang ternyata sudah meluncur ke arab Blabak.

Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang
Perbandingan foto kini dan dahulu ketika terjadinya tragedi kecelakaan tabrakan kereta di Blondo, Magelang (TRIBUNJOGJA.COM | Setya Krisna Sumarga)

Peristiwa ini menjadi lembaran hitam dalam kariernya sebagai pegawai perusahaan kereta api Belanda waktu itu.

Soekardjo tidak menceritakan apa yang terjadi sesudah kejadian menyedihkan itu.

Tujuh tahun kemudian, tiga tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia mulai bekerja di Djawatan Kereta Api (DKA), meneruskan pekerjaan yang sebelumnya ditekuni ayahnya.

Melengkapi kisah Soekardjo ini, Bagus Priyana menyodorkan empat foto dokumensi orisinil suasana di lokasi kejadian. Dari keempat foto itu tidak ada satupun yang memperlihatkan kondisi korban manusia atau penumpang kereta.

Suasana di lokasi juga tampak relatif tenang, menimbulkan dugaan foto diambil sesudah evakuasi korban manusia. Bisa berselisih jam atau mungkin hari-hari berikutnya.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved