Pemkot Yogyakarta Perlu Pikirkan Lanjutan Program 'Kotaku'

Penanganan lahan kumuh melalui program Kota Tanpa Kumuh yang kemudian disebut 'Kotaku', memang penting.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Kurniatul Hidayah
Narasumber dalam Pelatihan Lurah, BKM, UPL, TIPP Program Kotaku di Ruang Arjuna Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta, Senin (15/7/2019). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Kurniatul Hidayah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Penanganan lahan kumuh sudah harus mencapai 0 persen di penghujung tahun 2019 ini.

Saat ini, lahan kumuh di Kota Yogyakarta masih tersisa sekitar 60 hektare dari luasan lahan kumuh asal yang tercatat pada 2014 lalu seluas 271,01 hektare.

Ketua Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kota Yogyakarta, Muhammad Sofyan, mengatakan bahwa penanganan lahan kumuh melalui program Kota Tanpa Kumuh yang kemudian disebut 'Kotaku', memang penting.

Namun yang juga tidak boleh dilupakan adalah penanganan lanjutan eks-lahan kumuh.

"Setelah program kumuh selesai, lalu mau diapakan? Saya terinspirasi dari Gunungkidul yang pemuda-pemudanya selalu cari lahan baru untuk dijadikan objek wisata," bebernya dalam Pelatihan Lurah, BKM, UPL, TIPP Program Kotaku di Ruang Arjuna Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta, Senin (15/7/2019).

Ia menambahkan, biasanya dalam sebuah pembangunan, ketika proyek fisik sudah berhenti karena pembangunan rampung, tidak sedikit yang lantas menjadi mangkrak.

Ia ingin agar tetap ada keberlanjutan. Tidak hanya mengandalkan modal anggaran, namun juga kebersamaan masyarakat.

"Daerah yang punya aset wisata bisa dikembangkan. Misal pinggir sungai, kita kaji dengan wisata kuliner atau edukasi. Kita tidak ada SDA, bisanya edukasi. Nanti sungai Winongo, Gajahwong, dan Code bisa disulap menjadi sarana edukasi sehingga masyarakat tidak tergantung anggaran," urainya.

Koordinator Program Kotaku Yogyakarta, Mahmud Al Haris, menjelaskan bahwa target penanganan lahan kumuh adalah 0 hektare untuk tahun 2019 ini.

Kota Yogyakarta memiliki cita-cita untuk menjadi kota yang layak huni.

"Salah satu indikator layak huni, di Yogyakarta angka harapan hidup tertinggi di Indonesia. Maka melalui Perwal 318/2014 perbarui dengan Perwal 206/2016 mengharuskan ada beberapa wilayah kumuh yang harus diselesaikan sesuai amanah RPJM," bebernya.

Sementara itu, Kabid Perumahan Permukiman dan Tata Bangunan Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta, Sigit Setiawanmenjelaskan bahwa pengentasan kawasan kumuh membutuhkan kolaborasi bersama.

"Kalau hanya PU saja, tidak akan selesai," ujarnya.

Penananganan kawasan kumuh di Kota Yogyakarta dirasakan sangat berat di aspek infrastruktur dan sosial ekonomi. Terlebih permukiman kumuh banyak berada di tepi sungai.

"Kalau dari 7 indikator, salah satunya memerlukan lahan sementara. Lahan sudah tidak ada. Perlu komunikasi bersama untuk menyediakan lahan yang terbatas. Termasuk untuk M3K (Mundur, Madep, Munggah Kali)," urainya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved