Travel
Mengintip Sendang Bengkung, Mata Air Jernih di Bantul yang Tak Pernah Kering Meski Kemarau
Saat ini ada sekitar 50 keluarga di Padukuhan Cempluk, Desa Mangunan yang memanfaatkan mata air Bengkung untuk keperluan sehari-hari.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Desa Mangunan di Kecamatan Dlingo, Bantul bukan hanya menyimpan keindahan alam dengan hamparan pepohonan Pinus yang asri.
Di sana terdapat juga cerita legenda yang sarat akan sejarah masa lalu.
Satu di antaranya dengan keberadaan Sendang Bengkung.
• Melihat Pulau Ontoloe, Tempat Komodo Flores yang Diselundupkan Pulang ke Rumah
Sebuah mata air jernih yang tak pernah kering, meski di musim kemarau.
Konon, dari cerita turun-temurun yang beredar di masyarakat, keberadaan sendang ini erat kaitannya dengan sejarah Sultan Agung ketika mencari Siti Arum (tanah wangi).
• Lemari Lila Padukan Kain Batik dan Desain Kasual
Sendang ini terletak di kaki bukit Mangunan.
Airnya jernih mengalir di antara celah bebatuan besar.
Untuk menuju kesana, dari jalan Mangunan, pengunjung harus melewati jalanan terjal, berbatu, dengan kontur sedikit menanjak.
Satu-satunya penanda, bahwa anda sudah berada di dekat lokasi hanya papan kecil di tepian jalan bertuliskan "Pertapaan Petilasan Sultan Agung".
Tak ada lokasi parkir, karenanya, kendaraan hanya dipinggiran di tepi jalan.
Pengunjung kemudian naik, jalan kaki melewati puluhan anak tangga.
Tak berapa lama, terdapat sebuah joglo kecil dan bangunan sedikit memanjang.
Di sana tempat para tamu melepas penat dan beristirahat sejenak.
Di tempat itu pula pengunjung akan disapa oleh Suwandi, juru kunci mata air sekaligus juru kunci dari petilasan Sultan Agung.
• Menyusuri Keindahan Tersembunyi Perut Goa Gajah di Bantul
Alam di tempat tersebut masih sangat sejuk dan asri berkat rimbun pepohonan.
Burung-burung terdengar berkicau, terbang bebas.
Menuju ke sumber mata air, pengunjung harus naik lagi, melewati jalanan setapak sepanjang sekira 200 meter.
Bagian kanan-kiri dari jalan ini hutan.
Terdapat sejumlah kayu berukuran cukup besar lapuk dan melintang.
Di tengah Hutan Mangunan, di bawah batu berukuran besar, ada sebuah bangunan berpintu satu.
Di balik bangunan itu menjadi pusat mata air.
Bunyi gemericik air mengalir terdengar jelas.
Namun, sayangnya pintu sumber mata air itu rapat terkunci.
• Menjajal Rute Bersepeda Sembari Menikmati Suasana Asri Pedesaan ke Gua Payaman Bantul
Tribunjogja.com beruntung bisa bertemu Suwandi, juri kunci mata air sekaligus juru kunci dari petilasan Sultan Agung.
Ia berkenan membukakan kunci pintu.
Terlihat dari balik bebatuan air jernih mengalir tanpa henti.
Air tersebut masuk ke bak penampungan, kemudian terhubung ke sejumlah pipa penyaluran.
Menurut Suwandi, Mata Air Bengkung sudah ada sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun silam.
Ia tidak tahu tahun persisnya.
Namun, dikatakan olehnya, sejak tahun 1925 - 1928 mata air di Mangunan itu telah dibuat bangunan oleh Belanda.
Tahun 1930 kemudian mulai dimanfaatkan oleh masyarakat.
• Mengintip Goa Surocolo, Situs Bersejarah yang Tersembunyi di Bukit Poyahan Bantul
"Sebagian lagi dialirkan ke makam Raja di Imogiri," ujar dia.
Dikatakan, saat ini ada sekitar 50 keluarga di Padukuhan Cempluk, Desa Mangunan yang memanfaatkan mata air Bengkung untuk keperluan sehari-hari.
Sejak puluhan tahun silam, airnya selalu mengalir jernih dan tidak pernah kering.
"Sepanjang tahun meski musim kemarau sumbernya ada terus. Tidak pernah kering. Kalau susut, iya, tapi tidak pernah kering," jelas dia.
Sebagai juru kunci, Suwandi dipercaya untuk merawat kelestarian mata air.
Satu di antara kegiatan rutin yang ia lakukan adalah menengok dan membersihkan mata air.
"Pohon-pohon dirawat. Supaya lestari. Jangan ditebang," katanya.
Menurut dia, selama ini banyak masyarakat luar Kota Yogyakarta sengaja datang berkunjung ke mata air Bengkung.
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menginginkan hajatnya terkabul.
• Spot Foto di Jogja, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo
"Ada yang dari Solo, Semarang, Sragen. Dari Jakarta juga ada," ungkapnya.
Konon, kata Suwandi, mengapa dinamakan mata air Bengkung.
Diambil dari tradisi masyarakat yang hajatnya terpenuhi setelah datang dan berdoa di seputaran mata air dan petilasan Sultan Agung.
"Di sini ada tradisi, ketika meminta kepada Tuhan. Kemudian, dari sini hajatnya sudah terpenuhi biasanya membuat Ambengan Ingkung. Kata itu kemudian lama kelamaan menjadi Bengkung," ujar dia, menjelaskan.
Lepas dari mitos dan tradisi yang ada di sana, Bengkung merupakan mata air yang jernih.
Dilestarikan dan dikelola dengan baik sebagai aset yang bermanfaat bagi kehidupan warga masyarakat setempat. (*)