Kisah Mbah Atmo Wiyono, Perajin Sekaligus Penjaga Terakhir Dolanan Tradisional Anak dari Bantul

Selama puluhan tahun, Mbah Atmo Wiyono tetap konsisten menjaga supaya warisan leluhur itu tetap ada dan lestari.

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
Mbah Atmo Wiyono, menunjukkan sejumlah permainan tradisional anak-anak buatannya sendiri, Minggu (23/6/2019) 

Gempuran teknologi dan budaya modern membuat permainan tradisional kian tergerus dan ditinggalkan. Anak-anak zaman sekarang pun lebih mengenal permainan dari plastik ketimbang dolanan tradisional sederhana, semisal yang terbuat dari bambu dan kertas.

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL  - "Saingan kita plastik. Karena permainan anak-anak sekarang sudah dibuat pakai plastik semua," tutur Mbah Atmo Wiyono, mengawali cerita saat ditemui Tribunjogja.com di rumahnya, Minggu (23/6/2019).

Mbah Atmo merupakan satu dari tiga orang di kampung Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul yang hingga saat ini masih tetap memproduksi permainan tradisional anak-anak.

Situs Wadu Paa, Batu Berpahat Adikarya Sang Bima yang Masih Misterius

Selama puluhan tahun, ia tetap konsisten menjaga supaya warisan leluhur itu tetap ada dan lestari.

Di rumah Mbah Atmo, sejumlah dolanan anak tersedia.

Mulai dari kitiran, kluntungan, payung-payungan, otok-otok, kurungan, kipas lipat, angkrek hingga wayang kertas.

Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono.
Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono. (Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin)

Semua dolanan anak itu dibuat dengan amat sederhana, hanya berbahan kertas bekas dan potongan bambu.

Untuk menambah daya tarik anak-anak, kertas bekas dan potongan bambu itu dicat aneka warna, sehingga menjadi berwarna-warni cerah.

Cara memainkannya pun sederhana, misalkan saja otok-otok, hanya diputar-putar dan akan menghasilkan bunyi "tok-otok-otok".

Atau misalnya saja kitiran. Permainan ini dimainkan dengan mengandalkan daya angin.

Mbah Atmo kemudian mengambil satu Kitiran untuk mempraktikkan cara mainnya.

Ia memegang ujung permainan lalu mulai menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

Baling-baling kertas berputar. Ia menyunggingkan senyum. Dua giginya terlihat jelas.

Wajahnya berseri seakan membayangkan betapa bahagianya masa kanak-kanak zaman dahulu.

Mbah Atmo Wiyono, menunjukkan sejumlah permainan tradisional anak-anak buatannya sendiri, Minggu (23/6/2019)
Mbah Atmo Wiyono, menunjukkan sejumlah permainan tradisional anak-anak buatannya sendiri, Minggu (23/6/2019) (Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin)

Turun-temurun

Mbah Atmo sendiri mengaku sudah puluhan tahun membuat permainan tradisional untuk anak-anak.

Keterampilan itu ia peroleh secara turun temurun dari sang Ibu.

Namun ia lupa waktu pastinya.

Ia hanya menyebutkan mulai membuat dolanan tradisional sejak zaman yang ia sebut dengan istilah "gegeran Londo."

"Sudah puluhan tahun. Sejak masih kecil, diajari Ibu membuat mainan ini," ujar Mbah Atmo, yang saat ini menginjak usia 81 tahun.

Dikatakannya, zaman dimana permainan tradisional masih banyak peminatnya, Mbah Atmo mengaku sempat berjualan keliling menuju pasar - pasar tradisional.

Misalnya saja ke Mangiran, Barongan hingga pasar Godean Sleman.

"Jualan keliling jalan kaki. Berangkat dari rumah jam 01.00 malam. Kadang juga jam 03.00 malam. Sekarang sudah tua, ya di rumah saja," tuturnya, lalu terkekeh.

Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono.
Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono. (Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin)

Dihargai Murah

Kini, di rumah sederhana, Mbah Atmo membuka semacam showroom kecil.

Dalam bangunan tersebut berisikan sejumlah permainan tradisional yang merupakan hasil dari buah tangannya.

Permainan tradisional kreasi dari Mbah Atmo itu dijual dengan harga yang relatif murah.

Misalkan saja otok-otok, dijual dengan harga Rp3 ribu, wayang kertas Rp10 ribu dapat tiga, ada pula Angkrek, kurungan, kitiran dan kluntungan, yang masing-masing dihargai Rp2.500.

Meski dijual murah nyatanya tidak setiap hari permainan tradisional ini laku terjual.

Kata Mbah Atmo, pembeli biasanya datang dari guru yang mengajak anak-anak sekolah datang ke rumahnya.

"Itu pun tidak setiap hari. Kadang seminggu sekali. Kadang juga sebulan sekali," ujar dia.

Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono.
Sejumlah permainan tradisional anak-anak buatan Mbah Atmo Wiyono. (Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin)

Minat anak-anak pada permainan tradisional ini memang sangat rendah.

Terlebih dengan hadirnya permainan dalam layar gadget, permainan tradisional semakin jauh ditinggalkan.

Kondisi ini yang memaksa sejumlah perajin seperti dirinya, akhirnya beralih profesi tidak lagi membuatnya. Termasuk anak-anak dari Mbah Atmo sendiri.

"Saya punya anak lima. Mereka lebih memilih pekerjaan lain. Tidak ada yang membuat permainan tradisional anak-anak. Karena hasilnya tidak mencukupi," ujar dia. (*/ahmad syarifudin)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved