BMKG Yogyakarta Sebut Akhir Mei Wilayah Yogyakarta Masuk Musim Kemarau

Berdasarkan data yang dirilis dari BMKG, ada empat Kabupaten di DIY yang mengalami kekeringan ekstrem

Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Iwan Al Khasni
via Rutgers University
BMKG Yogyakarta Sebut Akhir Mei Wilayah Yogyakarta Masuk Musim Kemarau 

BMKG Yogyakarta Sebut Akhir Mei Wilayah Yogyakarta Masuk Musim Kemarau

Kepala kelompok data dan informasi BMKG staklim Mlati Yogyakarta, Djoko Budiyono menghimbau masyarakat untuk mempersiapkan diri saat memasuki musim kemarau di Mei
ini.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan seperti mulai menghemat air, menjaga kesehatan, dan para petani mulai mempersiapakan pola tanam yang sesuai iklim kemarau.

“Persiapan ini harus dilakukan petani agar tidak mengalami gagal panen,” ujarnya, Jumat (3/5/2019).

Dia menjelaskan, untuk iklim di bulan Mei ini wilayah DIY rata-rata hujan bulanannya diprediksi dalam kategori menengah hingga rendah.

Untuk Sleman utara, barat serta Kulonprogo utara, hujan masih muncul dengan rata-rata perbulannya mencapai 101-300 mm/ bulan.

Sedangkan, sebagian besar lainnya hujan bulanan mencapai kategori rendah 0-100mm/bulan.

“Kondisi terjadi karena secara bertahap wilayah Yogya akan memasuki awal musim kemarau. hingga akhir Mei dipediksi semua wilayah DIY sudah masuk ke dalam awal musim kemarau,” jelasnya.

Kemarau ini secara periodik akan menguat setiap bulannya. Sementara, puncak musim kemaraunya diprediksi akan masuk di bulan Agustus 2019.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah tengah mengkaji solusi jangka panjang untuk mengatasi bencana kekeringan yang melanda sejumlah wilayah di DIY setiap musim kemarau.

Salah satu diantaranya adalah pengangkatan dan pemanfaatan sumber air agar tidak bergantung pada dropping.

“Kami sedang menelaah itu kalau bicara jangka panjang. Jadi tidak sekadar dropping air lagi namun sumber air yang bisa dimanfaatkan bisa diangkat,” jelas Kepala BPBD
DIY, Biwara Yuswantana.

Menurut Biwara pihaknya pun intens melakukan rapat untuk menghadapi musim kemarau tahun ini. Diharapkan semakin ke depan titik-titik yang memerlukan dropping air pun
semakin sedikit.

Sementara itu, untuk rencana jangka pendek pihaknya akan melakukan dropping air berdasarkan data tahun lalu.

“Tahun lalu ada berapa titik yang dipetakan seperti di Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul,” urainya.

Dia juga menjelaskan, pihaknya juga akan mempersiapkan anggaran yang bisa dialokasikan dalam waktu singkat sebagai antisipasi menghadapi musim kemarau. Selain
berbicara antisipasi kekeringan, pada masa pancaroba ini potensi cuaca ekstrem masih terjadi.

“Kalau berbicara pancaroba, berarti berbicara transisi dan cuaca ekstrim masih rawan terjadi seperti di Ngaglik belum lama ini. Masyarakat juga perlu kesiapan pada
kawasan rawan longsor,” jelasnya.

Perlu diketahui, dari data tahun lalu ada sedikitnya 16 kecamatan yang tersebar di empat kabupaten mengalami kekeringan ekstrem.

Hal ini lantaran tidak adanya hujan berturut-turut dalam jangka waktu lebih dari 60 hari di wilayah tersebut.

Berdasarkan data yang dirilis dari BMKG, ada empat Kabupaten di DIY yang mengalami kekeringan ekstrem ini.

Diantaranya adalah Bantul yang meliputi kecamatan Imogiri, Pandak, Sewon, Kretek, Pundong. Gunungkidul (Paliyan, Ngawen, Playen, Rongkop, Wonosari, Semanu, Semin).
Untuk Sleman meliputi Moyudan dan Ngaglik, Kulonprogo (Kalibawang dan Kokap).

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY, Halik Sandera menjelaskan, dalam waktu jangka pendek, pemerintah bisa memetakan potensi sumber air yang bisa
dimaksimalkan untuk pemenuhan kebutuhan air warga dan mendorong kemandirian dalam pengelolaannya.

“Pengangkatan air skala kecil atau desa jika ada potensi untuk dimanfaatkan bisa dilakukan," jelasnya.

Sementara, untuk jangka panjang perlindungan kawasan penyimpan mata air adalah dengan penerapan kebijakan moratorium secara permanen atau larangan penghancuran bukit-
bukit karst yang berfungsi sebagai tempat masuknya air saat musim hujan.

Pembatasan pemanfaatan Kawasan karst, khususnya dari kegiatan/usaha yang berpotensi merusak
dan atau mencemari pun juga penting dilakukan.

Untuk Sleman dan Kulonprogo perlu memastikan kawasan hutannya berfungsi dengan baik.

Dia juga menyebut lereng Merapi sampai saat ini masih banyak eksploitasi lahan untuk tambang, sehingga fungsi sebagai kawasan imbuhan tidak maksimal.

Kulonprogo, kata dia, mempunyai bukit Menoreh sebagai kawasan hutan dan sekaligus rawan longsor saat musim hujan.

Sehingga, perlu pengelolaan terbatas dengan mengembalikan fungsinya sebagai kawasan penyangga.

Wakil Ketua DPRD DIY, Arif Noor Hartanto mengatakan, pengangkatan sumber air pun bisa dilakukan untuk solusi kekeringan jangka panjang.

Pos anggaran dari dana tak terduga bisa dipergunakan untuk mengangkat sumber mata air tertentu yang distribusikan ke daerah sendiri.

“Bisa mengambil air dari mata air daerah lain selama tidak menimbulkan kerusakan mata air,” jelasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved