Bantul
Pemkab Bantul Kesulitan Mendata dan Memantau Kesehatan Sapi di TPST Piyungan
DPPKP masih belum bisa mendata sapi-sapi yang berjumlah ribuan ini karena sapi dilepas untuk mencari makan sendiri di gunungan sampah.
Penulis: Amalia Nurul F | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan (DPPKP) kesulitan mendata dan memantau kondisi kesehatan sapi-sapi di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.
Hal tersebut berkaitan dengan Bantul sebagai pemasok daging terbesar di Yogyakarta, sehingga kesehatan sapi perlu dijaga agar menghasilkan daging yang layak konsumsi.
DPPKP masih belum bisa mendata sapi-sapi yang berjumlah ribuan ini karena sapi dilepas untuk mencari makan sendiri di gunungan sampah.
"Kami ingin bisa memeriksa sapi, tapi kesulitan. Kalau bisa, disatukan dalam kelompok," kata Kepala DPPKP, Pulung Haryadi, Rabu (27/3/2019).
Pulung ingin agar para pemilik sapi ini membentuk kelompok agar memudahkan pendataan untuk keperluan pemeriksaan kesehatan sapi.
"Kalau bisa ada kelompok, lebih mudah. Kita kan bagian dari produksi ternak, jadi harus diperiksa kesehatan sapinya," ujar Pulung.
Lanjutnya, ia juga ingin mengetahui lebih dalam soal daging sapi yang mengonsumsi sampah di TPST Piyungan.
Karena sejauh ini memang belum ada penelitian terkait daging sapi yang memakan sampah.
"Kami juga belum tahu apakah sapi-sapi ini dijual sendiri atau dipotong sendiri. Kandungan dagingnya seperti apa, kami juga belum tahu," jelasnya.
Baca: Perbaikan Jalan Segera Rampung, TPST Piyungan Akan Terima Sampah Secara Bertahap
Menurutnya, meski banyak sapi yang dibawa ke rumah pemotongan hewan (RPH) Segoroyoso, di sana juga belum ditemukan kejadian daging sapi yang tak layak konsumsi.
"Belum pernah kejadian di RPH. Kemungkinan dijual di luar atau dipotong sendiri," katanya.
Maka, ia ingin agar sapi-sapi ini terkumpul dan ada organisasi yang mengontrol.
"Hanya ingin dikumpulkan sapinya. Ada organisasi supaya bisa dikontrol dan untuk diedukasi," tuturnya.
Pulung bersedia memberikan pelatihan bagi para pemilik sapi di TPST Piyungan.
"Kalau mau dengan pelatihan juga nggak apa-apa. Ini juga upaya kami sehingga tidak membebani pemerintah provinsi," jelasnya.
Ia menambahkan, total populasi sapi di Bantul tercatat sebanyak 52.000 ekor.
Sedangkan untuk sapi yang masuk RPH setiap harinya bisa mencapai 10-13 ekor.
"Bantul memproduksi daging terbesar di DIY dan didistribusi di DIY juga. Di RPH sehari bisa sampai 10-13 (ekor) sejak RPH dibuka 24 jam," terangnya.
Baca: TPST Piyungan Masih Ditutup, Sampah di TPS Mandiri Melonjak Drastis
Sementara itu, satu dari pemilik sapi di TPST Piyungan, Narijo mengatakan, pemeriksaan kesehatan bagi sapi-sapi yang pasti hanya satu kali yakni jelang iduladha.
Selain itu, ia hanya sesekali memanggil dokter hewan jika ada sapi yang sakit.
"Kalau ada yang sakit, biasanya telepon dokter. Sama dicek (kesehatan) kalu mau qurban," kata Narijo yang memiliki delapan ekor sapi yang ia lepas di sekitar TPST Piyungan.
Narijo mengatakan, dulu, ada organisasi pemilik sapi TPST Piyungan. Kini organisasi tersebut sudah tak ada lagi.
"Dulu ada organisasi pemilik sapi sekarang sudah bubar. Karena ketuanya meninggal, jadi nggak dilanjut," tuturnya.
Katanya, saat organisasi tersebut masih ada, dulu ada pendataan soal kondisi sapi. Bahkan sapi-sapi tersebut dipantau setiap hari.
"Kalau siang ada yang jaga bergilir lihat sapi-sapi biar nggak kecelakaan," terangnya.
Kecelakaan sepeti sapi tertimbun sampah atau terkena backhoe menjadi risiko yang harus ditanggung para pemilik sapi.
Baca: TPST Piyungan Kembali Dibuka Mulai Jumat Besok
"Sudah risiko, karena sebenarnya tidak diperbolehkan sapi-sapi di sana. Tapi semua sudah paham, jadi ya sudah nggak apa-apa," tuturnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Kismo, warga RT 3 Dusun Ngablak, Sitimulyo, Piyungan yang dulu juga sempat memelihara sapi yang dilepas di TPST Piyungan.
Dulu, sapi milik Kismo berjumlah hingga 30 ekor.
Namun kini ia tak lagi memelihara sapi lantaran raganya yang renta tak mampu merawat sapi-sapi yang begitu banyak.
"Sudah saya jual sapi-sapi saya. Belum lama ini, belum ada setahun," kata Kismo.
Katanya, kejadian sapi mati memang sering terjadi.
"Banyak yang mati kena buldozer itu, ketimbun sampah. Ya nggak masalah," ungkapnya.
"Dulu sempat ditukar (sapinya), tapi sekarang enggak, sudah risiko," lanjutnya. (*)