Pendidikan
Mendibud RI Soroti Isu Intoleransi di Sekolah
Persoalan intoleran di sekolah masih menjadi perhatian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Penulis: Siti Umaiyah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Persoalan intoleransi di sekolah masih menjadi perhatian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pandangan sempit mengenai agama, hal tersebutlah yang membuat intoleransi menjadi semakin berkembang.
Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan ketika kurikulum agama kalau orientasinya serba pengetahuan, dan pengetahuan tersebut sangat diterministik, dimana diajarkan bahwa agama anak yang paling benar dan yang lainnya tidak benar, hal tersebutlah yang membuat pandangan anak menjadi sangat sempit.
"Kurikulum agama kalau orientasi serba pengetahuan, dan pengetahuannya itu sangat diterministik, yang saya maksud, isinya agama yang dianut anak paling benar, dan yang lain tidak benar. Inilah yang membikin pandangan anak sangat sempit," ungkapnya dalam agenda Pelatihan Pengawas Sekolah, Mempromosikan Toleransi dan Multikulturalisme di Sekolah.
Menurut Muhadjir, ketika ingin memasukkan isu toleransi dalam pelajaran agama, harus diyakinkan kepada anak didik bahwa agama yang dianut mereka benar, di saat yang bersamaan, perlu diberikan pengetahuan bahwa ada orang lain yang juga menyakini agama yang mereka anut juga benar.
"Kalau mau dimasukkan toleransi dalam kurikulum kita, kita harus memastikan, meyakinkan bahwa agama kita benar, namun di saat yang sama kita juga memberikan pengetahuan bahwa ada orang lain yang juga yakin agama yang dianut juga benar. Ini yang penting, jangan yang ini bener dan yang lain salah," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan jika semua orang harus berani membuka diri, memberikan pengertian kepada anak bahwa ada seseorang yang juga menyakini kebenaran agama mereka, bukan hanya dalam pendidikan formal namun juga non formal.
Baca: Viral Video Bu Guru Dikepung 8 Muridnya yang Joged, Bahkan Ada yang Acung-acungkan Uang
Dia juga mengatakan jika di Indonesia persoalan bukan hanya toleransi antar umat beragama, tapi toleransi internal umat beragama juga bermasalah.
Hal tersebut dikarenakan masing-masing kelompok berusaha menyakinkan apa yang ada dalam kelompoknya benar yang lain salah.
"Ruang kesadaran anak yang dominan menyalahkan orang lain dan membenarkan dirinya sendiri. Itu kemudian berimbas di kuat berkeyakinan. ini cara berpikir yang harus kita rubah. Orang kalau biasa menyalahkan orang, nanti lama-lama kalau sudah habis yang disalahkan, dia akan menyalahkan dirinya sendiri. Sehingga di dunia ini tidak ada yang benar," katanya
Dia juga mengatakan perlunya dibangunnya pendidikan, baik Agama maupun Pancasila agar memiliki ruh semangat membangun kebersamaan, toleransi, menjaga persaudaraan dan kesatuan.
"Pelajaran agama bukan ditinjau, saya kira kementerian agama sudah kerjasama dengan Kemendikbud untuk menata kembali kurikulum. Bukan hanya agama, tapi Pancasila dan yang lain. Yang penting ruh, semangat membangun kebersamaan, toleransi, menjaga persaudaraan, persatuan. Indonesia harus menjaga kerukunan, keutuhan insyaallah bisa tambah besar, kita memiliki landasan lain yang tidak dimiliki bangsa lain, yakni religiusitas. Multikultural, tidak dimiliki oleh bangsa lain," terangnya
Sementara itu, Ahmad Syafii Maarif, yang juga hadir dan membuka pelatihan menyampaikan jika perbedaan suku bangsa, agama, bisa dijadikan kekayaan untuk membangun kehidupan yang lebih langgeng.
Baca: Kasus Penendangan Siswa, ORI DIY : Sekolah dan Orangtua Siswa Sepakat Selesaikan Secara Kekeluargaan
Berkenaan dengan radikalisme di sekolah, Buya, panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif menerangkan jika hal itu adanya kesadaran yang terlambat.
Meskipun demikian, hal itu bisa diatasi dengan cara menyadarkan anak melalui pendekatan yang lunak.
"Karena dulu kurang dibendung muncul itu. Kesadaran agak terlambat tapi mudah-mudahan bisa diatasi. Cara mengatasi disadarkan anak-anaknya, tidak semata-mata dengan pendekatan keras, tapi lunak dengan bahasa hati dengan lunak," katanya.