Cerita Penjaga Kuburan Kuno Tionghoa Kulon Progo Yogyakarta, Catatan Peradaban di Bumi Menoreh
Jejak komunitas warga Tionghoa di Kulon Progo seolah hampir tak tampak. Namun, ada dua tempat yang menunjukkan eksistensinya
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Iwan Al Khasni
Pun makam itu menurutnya sudah ada sejak zaman kolonial. Ia memastikan ada sedikitnya sekitar seratus liang terdapat di makam itu dan nisan tertua ada di deretan
terbawah pada lahan perbukitan itu meski tak tahu pasti angka tahunnnya.
Kebanyakan nisan di makam itu memang menggunakan huruf cina dalam tulisannya. Pada kelompok nisan tertua, terdapat satu nisan yang bertarikh 2 Mei 1936.
Hal itu kiranya selaras dengan sejarah kekuasaan kerajaan di Yogyakarta. Wilayah makam itu dulunya berada di bawah penguasaan Kadipaten Pakualaman dalam teritori
Kabupaten Adikarta dengan nama desanya Graulan.
Pada 1951. Kabupaten Adikarta dan Kabupaten Kulon Progo (di bawah kasultanan Yogyakarta) bersatu menjadi Kabupaten Kulon Progo seperti dikenal saat ini.
Kepala Desa Giripeni, Priyanti mengatakan pihaknya menyimpan peta bertarikh 1938 yang juga memuat adanya areal permakaman itu. Luasan tanahnya sekitar 1,2 hektare dan
berstatus tanah putih atau tanah negeri.
Yakni, tanah perdikan milik Kadipaten Pakualaman, bukan tanah kepemilikan warga umum.
"Sejak dulu sudah ada hanya tidak bisa dipastikan kapan tepatnya tanha itu mulai digunakan sebagai makam. Dulu sempat ada pungutan desa terhadap makam di situ namun
kini sudah ditiadakan," kata Priyanti.

Kasi Pemerintahan Desa Giripeni, Supriyono mengatakan saat ini pihaknya tengah mengajukan rekomendasi pemanfaatan tanah itu sebagai makam ke dinas terkait. Hal itu
lantaran sampai saat ini belum ada alas hukum yang jelas atas tanah itu. Pihaknya masih berusaha melengkapi titik koordinat lahan tersebut.
Etnis Tionghoa di Kulon Progo saat ini memang hampir tak terlihat. Padahal, mereka pernah mewarnai peradaban di Bumi Menoreh ini di zaman terdahulu. Hal itu setidaknya
terlihat dari adanya tugu pagoda yang hingga kini masih kokoh berdiri di utara perlintasan kereta api Wates sisi timur.
Tugu tersebut merupakan persembahan dari warga Tionghoa dan diresmikan pada 23 Desember 1931 sebagai peringatan 25 tahun bertahtanya Paku Alam VII dan peringatan 100
tahun berdirinya Kabupaten Adikarto. Di badan tugu itu terdapat prasasti berbahasa Jawa serta berhuruf Cina yang menyebutkan peringatan itu.
Sekretaris Disbud Kulonprogo, Joko Mursito pernah menyebut bahwa tugu pagoda menjadi simbol eratnya hubungan masyarakat Kulon Progo dengan warga Tionghoa dan persatuan
di antara kedua belah pihak.
Saat ini, jumlah warga keturunan Tionghoa di Kulon Progo semakin sedikit, tidak lebih dari 10 kepala keluarga saja. Mmereka terjun dalam sektor perekonomian dengan
berbagai usaha.
Tidak sedikit pula yang menikah dengan warga keturunan Jawa sampai beberapa keturunan. Namun, hubungan dengan masyarakat lain terus terjaga baik karena mampu melebur
dengan budaya setempat. ( Tribunjogja.com | Singgih Wahyu)