Yogyakarta
BPBD DIY Ingatkan Ancaman Kawasan Gunung Merapi dan Pesisir Pantai
Mereka akan menempati rumah tapak yang disediakan di wilayah tertentu dan aman dari erupsi Merapi.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sedikitnya 44 kepala keluarga di kawasan rawan bencana III (KRB) merapi bersedia meninggalkan tempa t tinggal mereka dan menghuni hunian tetap yang disediakan pemerintah provinsi DIY.
Mereka akan menempati rumah tapak yang disediakan di wilayah tertentu dan aman dari erupsi Merapi.
Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD DIY, Biwara Yuswantana menjelaskan, 44 KK itu berasal dari tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Sleman.
Mereka bersedia untuk bertempat tinggal di perumahan yang disediakan pemerintah.
“Kami menyediakan bangunan dengan tipe 36 di atas lahan seluas 100 meter persegi plus sertifikat. Tahun kemarin ada 20 warga yang bersedia turun dan bertempat tinggal di hunian tetap Plosokerep,” urai Biwara di gedung DPRD DIY, Kamis (17/1/2019).
Baca: Membaca Polah Merapi dari Posko Induk Balerante
Biwara menjelaskan, dari pendataan yang dilakukan ada sekitar 600 KK yang masih menghuni KRB III dan belum bersedia turun.
Kawasan tersebut, ujarnya, memang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk tempat tinggal.
Kawasan ini tersebar di tiga kecamatan yakni Turi, Pakem dan Cangkringan.
“Kami terus menyadarkan mereka untuk bisa turun dan bertempat tinggal ke daerah yang aman. Kami sediakan fasilitas untuk itu,” jelasnya.
Biwara tidak menampik jika data jumlah KK yang bertempat tinggal di KRB III akan terus dinamis dan berkembang.
Pihaknya pun terus melakukan kajian dan langkah persuasif agar warga bersedia berpindah untuk keselamatan mereka.
Baca: Lava Pijar Terus Meluncur dari Puncak Merapi
Di sisi lain, Biwara juga menyebutkan terkait aspek keselamatan yang wajib diperhatikan warga pesisir pantai.
Dia menilai masih banyak bangunan yang memang melanggar sempadan pantai sehingga jika terjadi gelombang tinggi akan sangat berbahaya.
Beberapa bangunan yang memang melanggar diantaranya adalah resort dan hotel-hotel yang dibangun berdekatan dengan pantai.
Bahkan, jaraknya tidak sampai 100 meter dari bibir pantai.
“Sehingga, kalau ada gelombang tinggi akan cukup berbahaya,” ulasnya.
Untuk perizinan tersebut, kata Biwara, saat ini menjadi wewenang pihak Kabupaten ataupun pemerintah provinsi.
Jika memang ada pelanggaran dan terlalu dekatnya bangunan dari bibir pantai, maka pihak pemberi izin harus ikut bertanggung jawab.
Baca: Potensi Gempa dan Tsunami di Subduksi Pesisir Selatan Jawa Tinggi, Termasuk di Tapak NYIA
“Kalau ada hotel atau resto yang melanggar maka dikembalikan lagi pada yang memberikan izin, aspek tata ruang dan keselamatan wajib diperhatikan,” ujarnya.
Edukasi pada masyarakat pesisir pun perlu dilakukan agar mereka semakin sadar bencana.
Biwara pun mencontohkan jika semua pihak tidak berlomba-lomba untuk menjadi yang paling dekat dengan pantai, maka akan berjalan dengan baik.
“Sudah seharusnya perizinan juga memperhatikan mitigasi bencana,” imbuhnya.
Dia mengatakan, langkah yang bisa ditempuh agar aspek keselamatan bagi warga dan wisatawan terjamin adalah memundurkan bangunan sesuai dengan jarak yang aman.
Hal ini patut dipertegas oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan keselamatan.
Adapun dalam kesempatan itu, Biwara juga akan mengoptimalkan peran relawan bencana dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pembentukan desa tangguh bencana (destana) dan kampung tangguh bencana (Katana).
Ke depannya, harus ada standar nasional Indonesia (SNI) untuk destana.
“Jika memang ada pedoman, maka kami bisa melakukan melalui verifikasi dan monitoring evaluasi dari BPBD,” jelasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)