Kuliner Unik

Pasar Papringan di Temanggung, Sensasi Kulineran di Tengah Kebun Bambu, Bayar Pakai Pring

Sensasi unik wisata kuliner Pasar Papringan Temanggung. Kulinernya khas, bayarnya pakai mata uang pring. Sego Jagung Kuning, Lontong Mangut, Sego Gono

Penulis: Fatimah Artayu Fitrazana | Editor: Yoseph Hary W
Tribunjogja.com/Fatimah Artayu Fitrazana
Suasana Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono, Temanggung, Jawa Tengah pasa Minggu (13/1/2019). 

TRIBUNJOGJA.COM, TEMANGGUNG - Pernahkah Anda membayangkan berwisata kuliner di tengah rindangnya kebun bambu?

Sensasi unik ini akan bisa Anda temukan di wisata kuliner di Pasar Papringan, Dusun Ngadiprono, Temanggung, Jawa Tengah. Kulinernya khas, bayarnya pakai mata uang pring.

Pasar Papringan yang hanya hadir setiap hari Minggu Pon dan Minggu Wage menghadirkan berbagai hidangan khas pedesaan, misalnya Sego Jagung Kuning, Lontong Mangut, Bubur Kampung, Nasi Rames, Sego Gono, Gablok Pecel, dll.

Baca: Mencicipi Aneka Kuliner Mi di Warung Mie Bandung Kridosono Yogyakarta

Selain itu ada pula berbagai jajanan tradisional khas pedesaan dari Temanggung, yaitu Bajingan Kimpul dan Singkong, Dawet Anget, Iwel-iwel, Ndas Borok, Bal Jandal, dan masih banyak lagi.

Mata uang pring

Pasar ini menjadi semakin unik karena anda tidak berbelanja menggunakan mata uang rupiah, melainkan pring.

1 pring setara dengan Rp2000.

Sebelum icip-icip makanan di Pasar Papringan, anda harus menukarkan uang dengan pring terlebih dahulu.

Harga makanan dan minuman di Pasar Papringan bervariasi, mulai dari 1-6 pring.

Pasar Papringan ini buka mulai pukul 06.00 - 12.00 WIB.

Baca: Kuliner Unik Ala Pawon Semar, Olah Salak jadi Oseng-oseng Nan Segar

Proyek revitalisasi desa

Bicara soal Pasar Papringan tidak bisa terlepas dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) Spedagi, yang didirikan oleh seorang desainer produk, bernama Singgih S. Kartono.

Menurut Singgih yang ditemui Tribunjogja.com sambil bersantap sarapan Nasi Kuning di Pasar Papringan, Minggu (13/1/2019), mengungkapkan jika Pasar Papringan adalah satu di antara proyek sosial dari Spedagi.

"Pasar Papringan salah satu proyek revitalisasi desa (yang diinisiasi) Spedagi. Jadi, Spedagi ini sebuah kegiatan, movement yang bergerak di bidang revitalisasi desa dengan pendekatan kreatif," ungkapnya.

Spedagi mulai digiatkan sejak Singgih mengembangkan sepeda bambu di awal tahun 2013.

Singgih S. Kartono bersama sepeda bambu Spedagi hasil kreasinya di Pasar Papringan, Temanggung, Minggu (13/1/2019)
Singgih S. Kartono bersama sepeda bambu Spedagi hasil kreasinya di Pasar Papringan, Temanggung, Minggu (13/1/2019) (Tribunjogja.com/Fatimah Artayu Fitrazana)

"Spedagi itu ada dua, yaitu sebagai brand (merek) sepeda bambu, dan sebagai nama dari social movement (pergerakan sosial) dengan fokus pada revitalisasi desa dengan pendekatan kreatif," imbuhnya.

Asal muasal Pasar Papringan

Singgih membagikan kisah bagaimana dia menemukan potensi Papringan.

Menurutnya, Papringan (kebun bambu) awalnya tidak terpelihara, becek, gelap, banyak nyamuk, dan sering dijadikan tempat sampah.

"Penduduk desa sebenarnya bosan dan terbebani oleh Papringan," kata Singgih.

Hal ini tak terlepas dari anggapan bahwa bambu memiliki imej tentang kemiskinan.

Padahal menurut Singgih, bambu dan masyarakat desa itu tidak terpisahkan.

Singgih menjelaskan, "Pasar Papringan ini sebagai pendekatan dari yang jelek dan kotor menjadi menyenangkan dilihat secara visual, memberi manfaat ekonomi, dan menjadi media orang desa bertemu dengan orang kota."

Saat gelaran Pasar Papringan diselenggarakan, masyarakat dusun yang terlibat hampir 100%, sekitar 110 kepala keluarga.

Sebelum di Papringan, pernah pula dibuka kegiatan di Desa Caruban, namun gagal.

Kemudian diinisiasilah Pasar Papringan dua tahun lalu.

Baca: Rekomendasi 5 Warung Tengkleng Populer dan Enak di Yogyakarta

Pembekalan penjual di Pasar Papringan

Sebelum masyarakat berjualan di Pasar Papringan, Singgih membenarkan ada pembekalan yang diberikan.

Makanan di Pasar Papringan tidak menggunakan MSG, pengawet, dan pemanis buatan.

Masyarakat diajarkan bagaimana mengolah makanan dan minuman, hingga seberapa banyak porsi dan keindahan tampilan hidangan untuk pengunjung.

Perlu diketahui bahwa masyarakat di sekitar Papringan rata-rata bekerja menggarap sawah sebagai petani.

Alasan diadakannya Pasar Papringan hanya di Minggu Wage dan Pon adalah agar kegiatan ini tidak mengganggu mata pencaharian pokok mereka.

Hits tanpa strategi media sosial

Singgih mengaku timnya tidak melakukan strategi media sosial untuk membuat Pasar Papringan banyak dikenal.

"Bikin yang bagus saja. Kalau bagus, orang akan kenal. Natural saja," ungkap Singgih.

Dia menambahkan, pengunjung Pasar Papringan yang sebenarnya membagikan kisah mereka saat berkunjung.

Jadi menurutnya, ini bukan lagi era dari mulut ke mulut, tapi dari ponsel ke ponsel.

Dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat pun terasa.

"Selama dua tahun ini, omzet sudah lebih dari 2 miliar rupiah," kata Singgih

Sebagian besar uang tersebut masuk ke masyarakat.

(Tribun Jogja/ Fatimah Artayu Fitrazana)

Baca: Foto-foto Kondisi Terkini Gunung Anak Krakatau yang Puncaknya Hilang dan Air Lautnya Berubah Oranye

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved