Kisah Wiwit, Potret Hidup Seorang Ibu Tiga Anak di Bantul yang Masih Hidup dalam Garis Kemiskinan
Ibu tiga anak ini tinggal di rumah sederhana, tanpa memiliki pekerjaan lantaran dirinya sedang sakit-sakitan
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Wiwit Citra Ningsih, warga dusun Kwalangan, RT 02, Wijirejo, Kecamatan Pandak, menjadi satu contoh potret warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ibu tiga anak ini tinggal di rumah sederhana, tanpa memiliki pekerjaan lantaran dirinya sedang sakit-sakitan.
Perempuan 33 tahun ini setiap hari hanya berdiam diri di rumah.
Sementara suaminya, Slamet Santoso, telah tiada, menghadap Sang Khaliq terlebih dahulu.
Wiwit bercerita, suaminya meninggal dunia secara mendadak akibat serangan jantung saat tengah mencari pakan ternak, pertengahan tahun 2018 silam, tepatnya tanggal 25 Juli.
"Suami saya lagi ngarit (cari pakan ternak) tiba-tiba semaput (pingsan) dan digotong orang banyak. Dibawa ke Rumah sakit PKU, tapi katanya tidak ada alatnya. Kemudian dibawa ke Rumah sakit Sardjito, akhirnya meninggal dunia. Sudah takdirnya," tutur Wiwit dalam bahasa Jawa, saat ditemui Tribunjogja.com di rumahnya, Sabtu (12/1/2019).
Ketika bercerita, Wiwit tampak mencoba tegar.
Ia pun mengenalkan ketiga buah hatinya.
Anak paling besar bernama Dwi Purnomo, usianya 13 tahun. Dwi saat ini mengenyam pendidikan di bangku kelas 6 sekolah dasar (SD).
Anak kedua, bernama Hafid Santoso, anaknya sedikit pendiam, usianya baru sekitar 5 tahun dan sekolah di taman kanak-kanak.
Sedangkan si bungsu, yang paling lucu dan periang adalah Junianto Ramadhan. Ia biasa disapa Juni, usianya baru sekitar 2.5 tahun.
"Anak saya sebenarnya empat. Yang paling pertama perempuan, namanya Icha Septyaningsih. Tapi sudah meninggal dunia," ucapnya.
Ditinggal anak pertama sama suaminya, membuat Wiwit merasa terpukul.
Ketika bercerita, ia mengaku pasrah karena semua itu sudah menjadi titian takdir yang harus ia jalani.
Namun ketika melihat anak-anaknya yang masih kecil dan sejatinya masih membutuhkan sosok sang ayah, beberapa kali ia tampak mengusap matanya.
Untuk kebutuhan makan setiap harinya, Wiwit mengaku mengandalkan bantuan dari pemerintah melalui program keluarga harapan (PKH) senilai Rp500 ribu.
Jumlah tersebut diakuinya jauh dari kata cukup karena pencairannya pun tiga bulan sekali.
Ia mengaku sering juga dibantu berupa bahan makanan oleh tetangganya yang dermawan, semisal beras, mi instan dan juga telor.
Namun demikian, semua itu dirasakan oleh Wiwit belum juga cukup untuk memberi makan dirinya dan ketiga anak-anaknya.
Tak ayal, jika dalam kondisi sangat terdesak, tak ada bahan makanan untuk dimasak untuk anak-anaknya ia terpaksa harus berhutang di warung yang ada di kampungnya.
"Kalau nanti sudah ada uang, saya bayar," ungkapnya.
Soal biaya pendidikan anak-anak, Wiwit sedikit beruntung karena anak-anaknya selama ini mendapatkan bantuan biaya.
"Hanya untuk makan setiap hari yang kesulitan," tuturnya, pasrah.
Menengok ke dalam rumah, kondisinya tampak berantakan dan bahkan bisa dikatakan kurang layak huni.
Barang-barang berserakan dimana-mana.
Hanya ada almari dan buku yang dicampur dengan almari pakaian, kondisinya cukup memperihatinkan.
Di sudut ruang depan, ada televisi sekitar 14 inchi.
Bisa jadi, televisi itu merupakan satu-satunya hiburan yang paling berharga dari keluarga ini.
Memasuki ruang tengah kondisinya sama saja. Berantakan.
Ada meja kecil yang digunakan untuk menaruh makanan.
Tapi terlihat kotor dan tampak tak terawat.
Satu kamar diruangan ini juga berantakan.
Dipenuhi oleh setumpuk baju-baju yang tampak kotor.
Di bagian belakang, ada dapur dari tungku dan gas melon beserta sumur kondisinya sama saja, terlihat tak terawat dan berantakan. (*)