Magelang
Uang Rupiah Tak Laku di Pasar Kebon Watu Gede Magelang, Mereka Gunakan Benggol untuk Alat Bayar
asar Kebon Watu Gede di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Iwan Al Khasni
Jika anda sedang berjalan-jalan di Kabupaten Magelang, tidak ada salahnya untuk dapat berkunjung ke Pasar Kebon Watu Gede di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan
Bandongan, Kabupaten Magelang. Pasar ini menawarkan nuansa wisata yang berbeda dengan memadukan wisata kuliner, wisata alam, wisata seni dan kebudayaan tradisional.
Tribunjogja.com | Rendika Ferri K
SESAAT memasuki Pasar Kebon Watu Gede, pengunjung disambut hawa sejuk pegunungan. Lokasi pasar memang tak jauh dari salah satu gunung tertinggi di Jawa Tengah, yakni
Gunung Sumbing.
Suasana di sana begitu asri, rumpun bambu dan rimbun pepohonan merindangi segenap penjuru pasar yang terletak di jantung desa yang terhimpit di lahan persawahan yang hijau membentang.
Seperti kembali kepada masa lalu saat masuk ke dalam pasar ini. Pertama di pintu masuk, pengunjung disambut oleh para 'pegawai' pasar yang mengenakan pakaian
tradisional jawa kuno. Dalam bahasa jawa, mereka memberikan ucapan selamat datang kepada pengunjung dan menawarkan ' Benggol', mata uang khusus.
Di pasar ini memang rupiah kesannya tak laku, karena mereka menggunakan Benggol sebagai ganti alat pembayaran. Seperti pasar-pasar kuno dahulu yang menggunakan mata
uang kuno untuk melakukan jual-beli, sama halnya di Pasar Kebon Watu Gede ini.
Blongkeng ini ditukar dengan beberapa rupiah. Jika tak habis dibelanjakan dapat disimpan untuk digunakan saat pasar selanjutnya.
Pantauan Tribunjogja.com, beragam kuliner jadul dijual di pasar ini, mulai dari makanan tradisional seperti Clorot, Sengkulun, Kluban, Buntil, Sego Jagung, sampai berbagai macam olahan ketela Gethuk dan kawan-kawannya. Minuman tradisional juga ada di sini. Ada wedang uwuh, wedang jahe, selendang mayang, dawet ayu dan makanan lain yang mulai jarang ditemui
di masyarakat.
Dekorasi pasar pun kental nuansa tradisional. Lapak pedagang menggunakan gubuk, bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu. Mejanya terbuat dari bilahan bambu yang
ditatah dan direntangkan. Atapnya menggunakan rumbia dari daun kelapa yang dianyam.
Para penjualnya pun berdandan ala-ala masyarakat jawa jaman jadul. Pria memakai blangkon di kepala, dan pakaian tradisional seperti peranakan. Penjual yang wanita
mengenakan batik dan sanggul di kepala. Para pedagang akan menyambut ramah pengunjung, Masyarakat dapat membeli makanan menggunakan blongkeng dan duduk menikmatinya di
bangku-bangku bambu atau tethekan di dalam pasar.

Ari Fianto, Pengelola Pasar Kebon Watu Gede, menceritakan, awal mula pasar ini dibangun dari ide dan gagasan para pemuda Karangtaruna Desa Jetak. Mereka ingin membuat
suatu pasar tradisional yang khas dan berbeda dari pasar yang lain. Pasar ini berkonsep seperti pasar jadul yang akan menarik minat wisatawan untuk datang.
"Awalnya dari karangtaruna Desa Jetak, biar ada kegiatan mencari kegiatan yang orientasinya mensejahterakan masyarakat sekitar. Lalu kami mencari ide, dan ketemulah
pasar kebon watu gede ini," ujar Ari.
Dikatakannya, di pasar ini pengunjung ditawarkan beragam makanan dan minuman tradisional. Ada juga produk kerajinan dan mainan anak jaman dulu. Semuanya dibuat oleh
masyarakat lokal di Desa Jetak, termasuk besek atau wadah dari bambu, juga dibuat oleh masyarakat di sini, sebagai wadah pengganti plastik.
"Besek ini dipakai untuk mengganti bungkus plastik. Kami ingin membuat pasar yang juga ramah lingkungan. Kita ingin berkampanye pengurangan penggunaan plastik, sebagai
bentuk kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan," kata Ari.
Pasar yang berdiri sejak Februari 2018 ini, hanya diadakan saat hari Minggu Legi atau Pahing. Hal ini bertujuan sebagai kearifan lokal dengan menggunakan pasaran jawa
sebagai jadwal pasar. Selain itu untuk menghormati kegiatan masyarakat di sekitar pasar, seperti pengajian ataupun kerja bakti warga desa.