Tsunami Banten dan Lampung, Erupsi Anak Krakatau, Banyak Korban Termasuk Personil Band Seventen
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika merilis peristiwa tsunami di Pantai Barat Provinsi Banten
Tsunami Banten dan Lampung dan Erupsi Anak Krakatau
TRIBUNjogja.com ---- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika merilis peristiwa tsunami di Pantai Barat Provinsi Banten, 22 Desember pukul 21.27 WIB.
Berikut tanggapan dari BMKG dari beberapa kejadian:
- Gelombang Tinggi karena Cuaca
1. BMKG mendeteksi dan memberikan peringatan dini gelombang tinggi berlaku 22 hingga 25 Desember 2018 di wilayah perairan Selat Sunda.
2. Pukul 09.00 - 11.00 terjadi hujan lebat dan angin kencang di perairan Anyer.
- Erupsi Gunung Anak Krakatau
1. BMKG dan Badan Geologi melaporkan pada 21.03 anak Krakatau erupsi lagi sehingga peralatan seismometer setempat rusak, tetapi seismic staisiun Serung merekam getaran tremor terus menerus.
2.Berdasarkan rekaman seismik dan laporan masyarakar, tak ada disebabkan aktifitas gempabumi tektonik namun sensor Ciguelis menctatan aktifitas seismic dengan durasi lebih kurang 24 detik.
Berikut selengkapnya
BMKG
Band Seventeen
Dalam peristiwa Tsunami yang melanda wilayah Selat Sunda dan sekitarnya, band Seventeen yang sedang manggung turut menjadi korban.
"Keterlibatan kami dalam acara gathering perusahaan PLN di Tanjung Lesung mengalami bencana alam. Pada 22 Desember sekitar pukul 21.30 WIB air pasang menyapu bersih panggung yang letaknya sangat berdekatan dengan laut," kata perwakilan Seventeen, Yulia Dian dalam keterangannya, Minggu (23/12/2018).
Menurut Yulia, dari bencana tersebut pihaknya harus kehilangan orang-orang tercinta.
"Pemain bass kami M Awal Purbani yang biasa disapa Bani juga Road Manajer Oki Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya," imbuhnya.
Yulia mengungkapkan, kejadian berlangsung saat baru lagu kedua Seventeen menghibur penonton.
Air pasang naik ke permukaan dan menyeret seluruh orang yang ada di lokasi.
"Sayangnya saat arusnya surut anggota kami ada yang bisa menyelamatkan diri sementara sebagian tidak menemukan tempat berpegangan. Posisi panggung tepat membelakangi laut," ungkapnya.
Yulia menjelaskan, saat ini korban bencana terpencar di klinik-klinik dalam radius 2-3 Km dari lokasi kejadian.
Ivan Vokalis Seventeen mengungkapkan, sebelum panggung diterjang tsunami sama tak ada tanda-tanda signifikan.
"Tenang saja, tak ada angin dan semacamnya., namun saya memang melihat bara anak Krakatau,"kata Ivan saat wawancara via telefon dengan TV One, Minggu (23/12/2018).
Baca: Keterangan dari Keluarga Besar Seventeen Terkait Personel yang Jadi Korban Tsunami Banten
Krakatau
Buku karya Simon Winchester Krakatoa : The Day The World Explode, August 27, 1883, telah dialihbahasakan oleh penerbit Serambi pada April 2006 dengan judul yang serupa.
Saking larisnya buku ini, cetakan kedua dibuat September 2006. Secara umum, isi buku ini sangat bagus, detail, dan komprehensif mengungkap drama letusan gunung Krakatau. Datanya faktual, sebagian besar laporan dan kesaksian tertulis warga Belanda.
Ada juga laporan perjalanan kapal laut dari sejumlah maskapai di Inggris, AS dan juga Belanda yang ketika kejadian tengah berlayar di perairan Hindia Belanda. Kekuatan utama buku ini ada pada detail drama yang disajikan Simon.
Tidak hanya tentang Krakatau pada sekitar 1883, tetapi juga dilengkapi sejarah geologis gunung di Selat Sunda yang merupakan pertemuan dua lempeng tektonik paling aktif, lempeng Australia dan Euroasia.
Puluhan ribu tahun sebelum 1883, gunung Krakatau sudah menjulang perkasa. Dikenal sebagai Krakatau Purba, gunung itu juga konon meledak dahsyat memuntahkan material raksasa ke sekitarnya.
Terbentuklah kaldera raksasa yang kemudian tenggelam meninggalkan puncak-puncaknya setelah masa glasial atau zaman es berakhir. Sekali lagi Krakatau baru meletus hebat pada 1680, dan sejumlah kecil laporan datang dari pelayar Eropa yang melintas di Selat Sunda.
Laporan awal tanda akan meletusnya Krakatau muncul pada Mei 1883. Getaran-getaran konstan dirasakan seorang kontrolir perkebunan Belanda di Katimbang (Lampung), kemudian dilaporkan ke Residen Lampung sebelum diteruskan ke Batavia.
Laporan-laporan berikutnya makin deras, datang dari kapten-kapten kapal dagang maupun militer dari Jerman, AS, Inggris, Belanda yang melintas di Selat Sunda. Laporan itu seragam, mendeskripsikan segala keanehan tentang gunung di tengah selat sibuk itu.
Pada hari letusan pendahulu, ada cukup banyak laporan dari kapal-kapal laut yang melintas dalam jarak cukup dekat. Ada yang merasakan gelembung kuat yang mampu menjungkirkan kapal. Ada juga kesaksian langsung semburan material dari tengah laut, membubung tinggi ke angkasa.
Laporan itu berasal dari awak kapal Zeeland yang tengah berlayar membawa kiriman pos dari Batavia tujuan Holland. Kapten Mackenzie, pemimpin pelayaran, tercengang menyaksikan kolom asap hitam raksasa.
Asap itu naik cepat ke angkasa berseling kilat yang menyambar-nyambar. Bunyi gelegar letusan tak henti-hentinya datang dari arah gunung. Udara menjadi sangat gelap, pekat, menyesakkan dada. Di Batavia, drama tak kalah mengerikan berlangsung.
Baca: Hasil Lengkap Sidang Komdis PSSI 19 Desember, Hukum Krisna Adi, PS Mojokerto Putra, PSIM vs PS Tira
Getaran akibat gempa berlangsung terus menerus, membuat warga penghuni kota kolonial itu ketakutan, tanpa tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada Minggu pagi hingga siang itu. Kabar meletusnya Krakatau belum sampai ke kota itu, kecuali kalangan sangat terbatas.
Kisah dramatis lain diceritakan Simon Winchester dalam bukunya ini, tentang aksi nekat Residen Lampung yang berlayar mendekat gunung yang sedang mengamuk. Menggunakan kapal mesin, Mr Altheer meninggalkan Teluk Betung begitu mendengar kabar ganjil dari Rajabasa.
Ketika ia tiba di rumah kontrolir Mr Willem Beyerinck di Katimbang, sekelompok nelayan tengah melaporkan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di pulau-pulau dekat Krakatau beberapa jam sebelumnya.
Mereka saat itu sedang menyeberang dari Katimbang, ke Pulau Sebesi mencari kayu. Tiba-tiba para nelayan itu mendengar ledakan dan bumi yang dipijaknya bergeletar. Mereka mengira ledakan itu tembakan meriam kapal Belanda.
Namun ketika mereka berlari ke pantai, mereka menyaksikan api berkobar di puncak Perboewatan di gugusan gunung Krakatau. Abu bercampur lava pijar terlontar berkesiur memenuhi udara. Para nelayan itu kabur dan melapor ke kontrolir di Katimbang.
Tak percaya dengan laporan nelayan, Mr Altheer dan Mr Beyerinck melesat ke perahu dan melaju ke Pulau Sebuku dan Sebesi. Perahu mereka menerabas lautan batu apung yang sudah memenuhi perairan.
Setelah empat jam melaju, kedua orang Belanda ini menyaksikan pantai Krakatau memang benar- benar berubah jadi api. Dalam pandangan mereka, puncak Perboewatan sedang bersiap meledak. Mereka belum tahu sepenuhnya, dalam beberapa pekan berikutnya, petaka dahsyat akan terjadi.
Setelah memberi isyarat dengan letusan pendahuluan yang luuar biasa, Krakatau kembali tenang. Gempa berkurang, letusan mereda, dan di periode itu sejumlah ahli Belanda melihat dari dekat kondisi gunung.
Pada Minggu pagi, 26 Agustus 1883, hampir semua penduduk lokal maupun kolonial di Anyer, Batavia, Katimbang hingga Telukbetung menunjukkan kegelisahan yang mendalam. Mereka menunggu apa yang terjadi di tengah Selat Sunda.
Kejang-kejang dan sekaratnya Krakatau berlangsung persis 20 jam 56 menit pada 26-27 Agustus 1883. Ada empat letusan besar mendahului salvo pamungkas Krakatau pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02.
Dentuman super disertai semburan material itu memicu gelombang pasang mengerikan di laut.
Langit menjadi gelap, hujan abu, batu apung mengguyur Anyer dan sekitarnya.
Gelombang tsunami dan hujan pasir panas menghantam segala penjuru pesisir Banten dan Lampung dari Rajabasa hingga Telukbetung.
Bunyi ledakan itu bisa didengar hingga ribuan mil jauhnya dari pusat letusan. Catatan dari saksi mata menyebutkan kolom semburan material mencapai 24 mil tingginya, menembus luar angkasa.
Pulau Krakatau lenyap sepenuhnya dari permukaan laut. Enam mil kubik batu terlontar dari perut bumi, berubah jadi batu apung dan miliaran partikel debu.
Senin sore kemarahan Krakatau mereda, dan Selasa paginya benar-benar kembali tenang. Ditaksir 36.000 nyawa penduduk lokal di pesisir Banten dan Lampung terenggut. Sebagian besar korban hilang tertelan gelombang tsunami.
Demikianlah, kisah letusan super Krakatau pada 1883 diceritakan dengan amat sangat baik oleh Simon Winchester. Ini letusan skala 7 Velosity Explosion Index (VEI) di era modern yang terekam cukup baik oleh masyarakat.
Masih banyak kisah menarik yang jadi bunga-bunga buku karya Simon Winchester ini, yang memberi pelajaran bagi kita tentang perlunya pemahaman mendalam tentang kegeologian dan kegunungapian. (Tribunjogja. com | iwe/xna)