Yogyakarta
Fakta dan Klarifikasi Lengkap Terkait Pemotongan Nisan Berbentuk Salib di Kotagede Yogyakarta
Peristiwa itupun menyita banyak perhatian publik dan sempat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Muhammad Fatoni
Hingga saat ini, belum ada aturan pasti terkait siapa yang boleh dimakamkan di makam tersebut.
"Ini pembelajaran bagi kami bagaimana status tanah, makam, dan siapa yang diperbolehkan dimakamkan di situ nantinya harus ada aturannya," ujar Hariyadi.
Saat ini, lanjutnya, di beberapa tempat sudah ada makam khusus Nasrani maupun Muslim.
Tapi semua itu tergantung kesepakatan yang berbasis kewilayahan.
"Karena kadang-kadang masalahnya gini, mau dimakamkan di tempat yang jauh, tapi iya kalau mampu. Ini dari info yang saya dapat, almarhum mau dimakamkan ke Terban. Tapi karena jauh, warga menawarkan dimakamkan yang dekat," ujarnya.
Disinggung mengenai adanya pihak atau kelompok tertentu yang menyulut adanya aksi pemotongan nisan tersebut, Hariyadi menjamin bahwa tidak ada pergerakan semacam itu.
"Keluarga tidak ada tekanan. Kalau itu digerakkan, saya rasa itu terlalu jauh," pungkasnya.
Kesepakatan Bersama
Perlakuan kurang menyenangkan terkait pemotongan nisan salib yang dialami salah satu warga di RW 13 Purbayan Kotagede diduga bukan merupakan yang pertama.
Namun, kabar tersebut tidak dibenarkan oleh Ketua RW 13 Purbayan Kotagede, Slamet Riyadi.
Menurutnya selama ini tidak ada intimidasi maupun kekerasan fisik di wilayah tersebut, terlebih kepada mereka yang minoritas.
"Tentang pemotongan nisan salib ini sudah menjadi kesepakatan. Disaksikan dan ditandatangani keluarga almarhum, Ketua RT, dan Ketua RW," jelasnya, ditemui seusai jumpa pers di Ruang Yudhistira Balaikota Yogyakarta, Kamis (20/12/2018).
Ia menambahkan pemotongan nisan salib, merupakan kesepakatan petinggi gereja dan pengurus kampung kalau nanti di pemakaman tidak ada simbol agama.
"Pemotongan itu tidak ada masalah," ucapnya.
Adanya kabar lain yang menyebutkan bahwa peribadatan yang dilangsungkan di kediaman almarhum mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakan, juga ditanggapi oleh Slamet.
"Waktu pemakaman dari keluarga mau menyelenggarakan doa-doa sebelum berangkat, kami persilahkan. Misa dilakukan di Gereja itu semata-mata untuk menjaga agar kondusif dan tidak sampai bergejolak," bebernya. (*/kurniatul hidayah/ tribun jogja)