Sleman

Tangkal Hoax dengan Melek Media

Teguh memaparkan, sejarah telah membuktikan bahwa penjajah menguasai bangsa kita melalui politik memecah belah atau devide et impera.

Penulis: Santo Ari | Editor: Ari Nugroho
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Masyarakat diimbau untuk lebih melek media dalam gempuran banyaknya kabar bohong atau HOAX.

Teguh Wiyono Budi Prasetyo Dosen Etika Profesi STMIK AKAKOM Yogyakarta memaparkan begitu kompleksnya konten dunia maya ini menjadi sarana efektif untuk melakukan apa saja tergantung niat dan tujuannya.

Faktanya, dunia maya yang berkembang begitu pesat ini kadang justru menjadi panggung penyebaran hoax atau kabar-kabar bohong dan berita-berita palsu dengan tujuan mengadu domba antarelemen bangsa dan mengobarkan permusuhan antargolongan kadang malah menjadi viral di media sosial.

Dijelaskan Teguh, saat ini muncul istilah “hoaxopreneur” di mana kabar-kabar bohong menjadi komoditas untuk mencari uang dengan segala cara tanpa memperdulikan etika dan dampaknya bagi masyarakat luas.

Baca: Korps Inti Keamanan Sejati Deklarasikan Pemilu Damai, Ajak Masyarakat Tolak Hoax

Ia mengambil data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika di tahun 2017, disebutkan lebih dari 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech).

"Para pengelola situs hoax terus berupaya membuat kontennya menyebar luas melalui media sosial dan menjadi viral sehingga trafik yang masuk ke situs pembuat hoax semakin tinggi dan dampaknya meningkatkan potensi pendapatan dari iklan yang masuk," ujarnya Minggu (12/9/2018).

Dijabarkanya, pada pertengahan tahun 1960, Donn Parker dalam sebuah survei mengungkapkan “That when people entered computer center they left their ethics at the door” yang mengindikasikan kecenderungan seseorang untuk mengesampingkan etika-nya ketika berada di depan komputer.

"Peringatan lebih setengah abad yang lalu ini kini telah menjadi ancaman yang lebih serius bagi pengguna komputer terlebih telah masuk pada jaringan yang tidak terbatas di dunia maya melalui teknologi internet," ucapnya.

"Etika inilah yang seharusnya menjadi ruh bagi para netizen untuk memaknai gerakan digital literacy yang di dalamnya terkandung nilai moral dan hukum," tambahnya.

Baca: Polda DIY Minta Masyarakat Jangan Jadi Penyebar Hoax

Ia menilai, pemahaman makna digital literacy bagi masyarakat Indonesia harus lebih lengkap.

Teguh menyebut, penghuni dunia maya bukan hanya manusia, tetapi juga data, informasi, surat elektronik, ide-ide dan ilmu pengetahuan.

Teguh memaparkan, sejarah telah membuktikan bahwa penjajah menguasai bangsa kita melalui politik memecah belah atau devide et impera.

Kini disebut Teguh, ancaman itu muncul kembali dengan media yang berbeda, lebih halus, luwes, dengan pelaku yang tidak perlu memunculkan identitasnya secara nyata sebagai sifat anonymous dunia maya.

Terlebih sebagai bangsa yang begitu majemuk, plural, multi-etnis, multi-agama dengan kondisi perekonomian belum sejahtera dan belum merata akan menjadi sasaran empuk berbagai kepentingan memporak-porandakan komitmen bangsa ini, terlebih di era politik saat ini.

"Untuk itu marilah kita galakkan gerakan melek digital secara lebih bijak dan arif sehingga teknologi informasi dan media sosial menjadi arena berbagi ilmu dan kebaikan bukan tempat menyebar fitnah dan kebencian," paparnya.(TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved