Yogyakarta

AFJ : Sirkus Lumba-lumba Merupakan Eksploitasi

Meskipun sudah ada peraturan tentang kesejahteraan dan kesehatan hewan, menurutnya hewan yang ada dalam sirkus jauh dari sejahtera.

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
ist
Lumba-lumba 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta tak melarang adanya pertunjukan lumba-lumba dalam Sekaten di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Hal tersebut lantaran prosedur dan perizinan sudah sesuai.

Baca: Bagaimanakah Perasaan Lumba-lumba ketika Berada di Penangkaran?

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta, Ir Junita Parjanti, MT mengatakan pihaknya sudah melakukan pengecekan dan pendampingan untuk pertunjukan lumba-lumba di Sekaten.

"Untuk pertunjukan lumba-lumba sudah melalui prosedur dan perizinan dari Jakarta. Dari BKSDA juga sudah melakukan pengecekan. Kami juga sudah melakukan penampingan, dokter hewannya juga sudah kami dampingi," katanya pada Tribunjogja.com, Selasa (30/10/2018).

Pada prinsipnya, lanjutnya pertunjukan lumba-lumba diperbolehkan.

Meski demikian harus ada yang perlu diperhatikan oleh pihak pengelola.

Yang perlu diperhatikan antara lain kesehatan dan kesejahteraan hewan tersebut.

Junita mengatakan pertunjukan lumba-lumba juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri tentang Pedoman Peragaan Lumba-lumba.

Dalam pedoman tersebut, mulai dari kebersihan kolam, ruang sirkulasi udara, dan kesehatan sudah diatur.

"Jadi memang pada prinsipnya pertunjukan lumba-lumba itu diperbolehkan, asalkan sesuai dengan prosedur yang ada. Tentu harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan itu, mulai dari makanan, istirahat, cek kesehatan oleh dokter hewan, dan lain-lain," lanjutnya.

Meski diperbolehkan, Junita berpendapat bahwa hewan liar sebaiknya berada alam liar.

Menurutnya, pertunjukan lumba-lumba merupakan tuntutan dari perkembangan komoditas wisata.

Meski demikian, pihaknya tidak merekomendasikan hewan-hewan untuk dieksploitasi.

"Kalau kami lebih ke konservasi hewan. Kalau hewan liar ya biar di alam liar saja. Kalau burung ya biar terbang saja. Ya tuntutan dari perkembangan komoditas wisata. Tetapi juga tidak mengekploitasi, misalnya foto dengan burung hantu di siang hari. Burung hantu kan nocturnal. Sejauh ini ya asal sesuai dengan peraturan saja," tutupnya.

Meski sudah ada peraturan yang mengatur, Animal Friend Jogja (AFJ) tetap menganggap pertunjukan lumba-lumba merupakan eksploitasi hewan.

Program Manajer Angelina Pane mengatakan pertunjukan lumba adalah pemaksaan kehendak.

"Konservasi darimana, sirkus lumba-lumba itu ya tetap eksplotasi. Lumba-lumba habitatnya dimana? Sekarang kalau sirkus tempat tinggalnya jadi seberapa? Itu namanya pemaksaan kehendak. Itu eksploitasi yang berkedok konservasi, untuk bisnis saja itu," katanya.

Meskipun sudah ada peraturan tentang kesejahteraan dan kesehatan hewan, menurutnya hewan yang ada dalam sirkus jauh dari sejahtera.

Selain dari habitatnya yang berubah, perlakuan kepada hewan sirkus belum tentu baik.

"Lihat habitat aslinya saja sudah beda. Lalu air itu kelihatannya bersih, itu dikasih klorin. Padahal kan tidak boleh. Suara bising itu juga sebetulnya tidak boleh, tetapi apa, malah ada musik-musiknya keras sekali. Kalau yang sirkus keliling, pegawainya pada tidur dimana, di tenda kan dan tidak nyaman. Apalagi hewannya," ungkapnya.

"Kalau seperti itu bagaimana konservasinya, malah dilanggar sendiri etikanya. Berperilaku alami itu juga termasuk etika ya, tetapi sekarang lumba-lumba malah disuruh menghitung, atau hewan lain suruh mendorong gerobak. Itu kan juga bukan perilaku alaminya. Lalu apa yang dipertahankan?" lanjutnya.

Angelina pun menyayangkan karena pertunjukan lumba-lumba masih boleh digelar di Yogyakarta.

Ia pun telah mengirimkan surat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta dan Dinas Pendidikan.

"Kami sudah bersurat dengan Pemkot Yogya, kemarin katanya akan meninjau ulang. Kami sekarang masih menunggu untuk audiensi. Kami juga bersurat dengan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Karena pihak sirkus juga pergi ke sekolah-sekolah untuk mengundang siswa," ujarnya.

Baca: Bayi Lumba-Lumba Mati Setelah Digilir Turis untuk Selfie

"Ini sangat disayangkan bisa terjadi di Yogyakarta, sebagai kota pendidikan. Indonesia juga jadi negara terakhir yang masih ada sirkus lumba-lumba. Makanya kami tanya ke Dinas Pendidikan, sisi edukasinya dimana," sambungnya.

Menurutnya dengan pengenalan sirkus pada anak-anak justru mengajarkan eksplotasi hewan.

Jika ingin melakukan konservasi dan edukasi, lebih baik para pengelola dan lembaga konservasi membuat penelitian tentang lumba-lumba.

"Edukasinya dimana, ngajarin nggak apa-apa eksplotasi satwa untuk kepentingan manusia? Mending yang berlabel lembaga konservasi itu bikin penelitian tentang lumba-lumba, jelas lebih ada manfaatnya buat pendidikan. Sirkus ini terbukti membuat populasi lumba-lumba menurun. Masa hidup lumba-lumba juga cuma sebentar," tutupnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved