Gempa Lombok
Sebagian Rumahnya Rata Tanah, Korban Gempa Lombok Ini Terpaksa Mengungsi di Atas Bukit
Selama ini ia hanya tinggal di pengungsian yang berada di atas bukit yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya.
TRIBUNJOGJA.COM - Warga Lombok, Lalu Fikri (42) kala itu sedang asyik bersantai bersama istri dan ketiga anak laki-lakinya.
Nampak tiga anak kecil yang sebaya dengan anak bungsunya tengah bermain sambil membaca buku di bawah naungan rumah hunian sementara yang dibangun oleh tim mahasiswa UGM.
Baca: Jokowi Kirim 400 Insinyur Muda untuk Pulihkan Lombok
Meski bangunan tersebut belum sempurna karena belum dipasang dinding, namun setidaknya bangunan tersebut menjadi penanda bagi Lalu sebagai tempat tinggalnya karena rumahnya sudah rata dengan tanah bahkan hanya bersisa sebagian tembok dapur dan kamar mandi.
Sambil duduk lesehan beralaskan bekas lantai marmer ruang dapur rumahnya, Lalu Fikri hanya bisa memandang reruntuhan bekas tembok rumahnya yang masih menumpuk.
“Saya ingin sekali membersihkan sisa-sisa puing, biar nampak bersih dan saya bisa segera membangun, ” katanya sambil menghela nafas panjang.
Hampir seluruh rumah di Dusun Karang Pansor mengalami hal serupa dengan Fikri karena bekas bangunan rumah yang dirobohkan masih menumpuk di lokasi tanah milik mereka masing-masing.
“Saya berharap pemerintah kirim mobil bantu membersihkan puing-puing ini,” katanya memelas.
Fikri menuturkan ia berkeinginan membangun rumahnya secara perlahan.
Namun situasi tidak memungkinkan.
Selama ini ia hanya tinggal di pengungsian yang berada di atas bukit yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya.
Bila malam menjelang ia kembali menuju bukit lalu pagi hari pulang menengok rumahnya.
Bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja sebagai juru parkir ke pelabuhan penyeberangan menuju Pulau Gili Trawangan ini masih teringat jelas peristiwa gempa yang terjadi pada akhir Bulan Juli lalu yang mampu merobohkan rumahnya tersebut.
Saat itu ia baru pulang kerja dan hendak melepas lelah sambil tiduran di kamar.
Sementara istri dan anak bungsunya yang berumur 5 tahun tengah mengikuti pengajian ibu-ibu yang berlangsung di rumah tetangga.
Saat gempa pertama terjadi ia masih santai saja.
Namun disusul gempa selanjutnya yang jauh lebih besar hanya berselang beberapa menit, Fikri langsung bergegas menuju luar rumah untuk menyelamatkan diri sambil mencari istri dan anak bungsunya.
Tidak hanya Fikri, para tetangganya pun sudah berkerumun di luar rumah.
Situasi langsung gelap gulita karena listrik padam.
Gempa kedua ini telah merobohkan tembok rumah Fikri.
Bukan hanya rumah, gempa ini mampu merobohkan masjid yang berjarak kurang dari 10 meter dari rumahnya.
Tiga orang yang diketahui meninggal saat beribadah di dalam masjid tersebut.
Seorang balita, anak tetangga sebelah rumah Fikri meninggal dunia di malam itu.
“Mereka yang meninggal dan terhimpit bangunan, belum sempat kita bawa, karena kita langsung mengungsi ke atas bukit, takut air laut meluap (tsunami),” kenang Fikri yang rumahnya hanya berjarak 300an meter dari pelabuhan.
Fikri masih ingat betul bagaimana ia dan istrinya bersama dengan seluruh warga kampung di malam itu beramai-ramai berjalan dua hingga kilometer mendaki bukit.
“Kita tidak membawa apa-apa hanya pakaian yang melekat di badan,” ujarnya.
Pada malam itu, kata Fikri, seluruh warga kampung Bangsal mengungsi di atas bukit sambil memandang dari kejauhan sambil berharap tsunami tidak datang untuk merendam kampung mereka.
Baca: Pascagempa Lombok, Monyet Ekor Panjang Banyak yang Keluar dari Hutan
“Saya hanya bilang kalau sinar lampu sudah tidak nampak lagi, berarti sudah terendam,” kata Fikri menirukan ucapan tersebut kepada istrinya seraya menggendong anaknya yang tertidur di pangkuan.
Beruntung, bencana tsunami yang dikhawatirkan seluruh warga Desa Bangsal tidak terjadi.
Namun pada malam itu, seluruh warga memilih berlindung di atas bukit.
Hingga esok paginya, mereka berani pulang ke rumah sambil mengurusi korban meninggal yang belum sempat dievakuasi. (*)