EKSKLUSIF THE LOST GANESHA
Kisah di Balik Penemuan 'The Lost Ganesha' dan Lenyapnya Kampung Gepolo di Prambanan
Tiga orang saksi hidup warga Dusun Gunungsari bertutur tentang drama ketika negara Republik Indonesia baru berumur 10 tahun.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Penemuan kembali arca Ganesha raksasa di jurang Dusun Gunungsari, Sambirejo, Prambanan, ikut menguak kisah mencekam lenyapnya Kampung Gepolo.
Kampung itu ditinggalkan penduduknya setelah tanah bergerak menyeret seisi kampung ke bibir jurang pada tahun 1955.
Tanah Tiba-tiba Merosot ke Jurang, Kampung Gepolo pun mendadak lenyap
Tiga orang saksi hidup warga Dusun Gunungsari bertutur tentang drama ketika negara Republik Indonesia baru berumur 10 tahun.
Ada Pak Wakijo, kini berusia 63 tahun. Saat peristiwa terjadi ia baru berusia 4 tahun.
Baca: Penuturan Saksi Hidup Terjungkalnya Arca Ganesha ke Jurang Setengah Abad Lalu
Baca: Lihat Ukurannya! The Lost Ganesha Ditemukan Terjungkal ke Lereng Tebing di Prambanan
Baca: The Lost Ganesha Terjungkal saat Longsor Tahun 1955
Saksi kedua Pak Ngatijo, kini berusia 69 tahun. Atau saat kejadian berusia 6 tahun. Saksi ketiga, Mbah Adi Sumarto.
Penduduk Kampung Nglundeng, sebuah permukiman agak terpencil di selatan jurang Gepolo, tak yakin umur berapa saat bencana terjadi.
Ia hanya mengingat, masih digendong-gendong di punggung ibunya kesana kemari ketika petaka melahap kampung di lereng perbukitan Sambirejo itu.
Mbah Adi melihat penduduk lari lintang pukang ketika bumi berderak-derak setelah hujan turun tiga hari tak henti.

Soal hujan nonstop ini juga diceritakan Pak Wakijo, penduduk RT 6 Dusun Gunungsari.
"Hujan tak berhenti tiga hari. Air di puncak bukit sana, di atas Kampung Gepolo, menggelontor masuk ke ceruk tebing, tapi seolah kemudian hilang," kata Wakijo kepada Tribunjogja.com.
"Ndak tahu hilang ke mana. Namun tak lama setelah itu, tanah di Kampung Gepolo bergerak, merosot nyaris bersamaan ke arah jurang. Sebuah kandang ternak di lokasi paling bawah sudah lebih terjatuh ke jurang," kenang Wakijo.
Saat itu penduduk kampung yang jumlahnya puluhan, bersicepat menyelamatkan diri. Harta benda yang dimiliki dibawa lari.
Sedangkan rumah yang saat itu umumnya masih beratap rumbia atau alang-alang, berdinding bambu atau gedhek, dibiarkan terbawa longsor.

Menurut Wakijo, lapisan tanah yang bergerak dan merosot ke tebing jurang adalah semua yang berada di sisi selatan lokasi situs arca Agastya besar yang sekarang, memanjang ke timur hingga batas kampung paling timur di bawah bukit.
"Mulai selatan sumur yang sekarang masih ada, bergerak ke jurang. Sebagian jatuh ke jurang, termasuk arca Ganesha yang sekarang ada di lereng jurang itu," jelasnya.
"Tanah di sebelah timur juga bergerak, dan praktis semua penduduk pergi," lanjutnya.
Tentang waktu terjungkalnya arca Ganesha, Wakijo tak ingat persis. Kemungkinan sore atau malam, karena situasi waktu itu hujan deras bertepatan puncak musim rendeng (penghujan).
"Tak ada yang tahu persis kapan jatuhnya," katanya.

Seingat Wakijo, meski ia masih ragu, Kampung Gepolo total ditinggalkan penduduknya sekitar sebulan sesudah arca Ganesha terjungkal ke jurang.
Sesudah kampung kosong, cerita tentang arca Ganesha itupun seolah ikut terkubur.
Mbah Adi Sumarto ditemui Tribunjogja.com di rumahnya yang sederhana di Kampung Ngglundeng, bersusah payah membuka ingatan masa kecilnya.
"Yang saya ingat, waktu itu tanah sudah bengkah-bengkah (retak-retak) besar," kata Mbah Adi.
"Menakutkan, dan saya juga ingat arca besar itu masih ada di tempatnya, di atas sebuah balik di dekat bambing (tebing)," lanjut petani yang dulu orangtuanya tinggal di Kampung Gepolo yang kini lenyap.
"Tapi saya takut-takut juga mendekati reco (arca) itu. Maklum masih kecil. Seingat saya wujudnya masih utuh ada kepalanya," kata Mbah Adi yang turut bedol deso bersama orangtua dan beberapa warga Kapung Gepolo lain.

Kampung Ngglundeng yang dihuni Mbah Adi dan penduduk lainnya ini unik.
Permukiman ini baru ada sejak 1955/1956, ditinggali eks penduduk Kampung Gepolo yang bedol desa bersamaan dengan terjungkalnya arca Ganesha raksasa.
Nama Ngglundeng diyakini sebagai penanda sejarah peristiwa "ngglundung-nya" (menggelindingnya) kampung mereka dari atas tebing ke jurang.
"Ngglundeng itu dipercaya dari kata "ngglundung"," kata Ngatijo, Kepala Seksi Kesejahteraan Pemdes Sambirejo.

Selain di Ngglundeng, eks warga Kampung Gepolo pindah ke tempat-tempat lain tak jauh dari permukiman asal mereka.
Ada yang di sekitar balai desa Sumberejo, ada juga yang pindah ke wilayah atas ke arah Tebing Breksi dan Candi Ijo yang sekarang.
Kepala Desa Sambirejo, Mujimin, tak bisa banyak bercerita tentang kisah lenyapnya Kampung Gepolo.
Ia juga hanya mendengar cerita turun temurun, karena belum lahir saat peristiwa itu terjadi.
Wujud arca Ganesha yang terjatuh ke jurang juga belum pernah ia lihat dari dekat.
Ia justru merujuk ke Pak Ngatijo, sebagai sosok senior di Gunungsari dan sejak 1977 sudah mengabdi sebagai pamong desa. Begitu juga Maryono, Kepala Dusun Gunungsari. Ia jauh lebih muda lagi ketimbang Mujimin.

Maryono pun hanya mendengar cerita mulut ke mulut tentang keberadaan arca besar di dasar jurang dusunnya.
"Kita dan warga yang generasi muda tahu semua, ada batu besar di sana, tapi tidak tahu itu batu apa atau arca," kata Maryono.
Ia menyebut istilah temuan baru arca Ganesha tidak terlalu tepat, karena objek itu sudah jadi pengetahuan umum warga Gunungsari dan sebagian Sambirejo.
"Tapi bahwa yang tahu persis wujudnya tidak banyak. Apalagi lokasinya sulit begitu," lanjutnya. Muji (66), warga Gunungsari, mengingat masa kecilnya pernah memanjat ke arca Ganesha raksasa itu.

"Namanya anak-anak, hampit gak ada rasa takut waktu itu. Arcanya besar dan memang waktu itu ada di bambing (tebing)," kata Muji yang berumur sekitar 5 tahun saat tahun 1955.
Tapi kisah arca Ganesha raksasa itu ikut terkubur sejak Kampung Gepolo lenyap ditinggalkan penduduknya. Muji juga baru Minggu (19/8/2018) sore itu melihat dari dekat wujud arca yang terjungkal puluhan tahun lalu.
"Saya memang pernah diajak bapak ke sini, tapi itu sudah sangat lama. Baru kali ini juga saya ke sini. Ternyata tubuhnya sudah lepas kaya gini," lanjut Muji.
"Bencana itu memang mengerikan. Kalau orang sini dulu tidak mendengar apa-apa saat arca ini jatuh, tapi orang yang dari jauh di seberang gunung sana malah mendengar suara jlegurrrrr gitu," kata buruh penggergajian batu alam ini.(Setya Krisna Sumarga)