Singgah di Masjid Bersejarah

Video Masjid Banyusumurup, Soko Guru Asli dari Masa 3,5 Abad Lalu

Berdirinya semasa dengan penguburan Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dikebumikan di Makam Banyusumurup.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Ari Nugroho

TRIBUNJOGJA.COM - Berdiri terpencil di sebuah lembah perbukitan Mangunan, Masjid Banyusumurup memiliki riwayat panjang nan bersejarah.

Berdirinya semasa dengan penguburan Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dikebumikan di Makam Banyusumurup.

Ini kompleks makam tua yang khusus diperuntukkan bagi "musuh-musuh" kerajaan masa itu. 

Empat tiang kayu jati ukuran 19x19 sentimeter menopang atap masjid yang berbentuk joglo.

Bertengger di puncaknya mustaka masjid yang terlihat kuno.

Semua elemen kerangka bangunan masjid ini kayu jati lawas, termasuk serambinya yang berbentuk limasan.

Begitu tuanya usia kayu jati kerangka masjid itu bisa dilihat dari warnanya yang cokelat tua, kadang berseling warna kehijauan berselimut jamur atau lumut tipis.

Versi lain, konon masjid ini berdiri sejak masa Sultan Agung berkuasa di Keraton Kerta.

Baca: Cerita Saat Air Tiba-tiba Mengalir Begitu Sultan Agung Menancapkan Tongkatnya

Menurut Muji Raharjo, seorang abdi dalam Makam Banyusumurup yang juga dituakan di Dusun Banyusumurup, konon Sultan Agung ketika itu tengah berkeliling Imogiri mencari calon lokasi makam kerajaan, dan sampai ke sebuah lembah.

Ia lalu mencari air untuk wudu tapi tidak menemukan. Sultan Agung kemudian meletakkan tongkatnya ke tanah, lalu mengucurlah air.

Ia kemudian salat di lokasi yang kemudian didirikan Masjid Banyusumurup.

Nama Banyusumurup ini berasal dari peristiwa ketika Sultan Agung "menghidupkan air" di lokasi itu.

Namun versi pertama diyakini lebih kuat.

Masjid ini didirikan bersamaan kehadiran Makam Banyusumurup di lembah nan sunyi dan sangat jarang dijamah manusia.

Pangeran Pekik dihukum mati Amangkurat I pada tahun 1659 karena terkait skandal penculikan Roro Oyi, gadis jelita dari Surabaya yang mulanya hendak diperistri sang raja.

Pangeran Pekik sesungguhnya merupakan mertua Amangkurat I.

Baca: Roro Oyi, Kisah Tragis Gadis Surabaya di Tangan Amangkurat I

Karena rasa sayangnya pada sang cucu, Raden Mas Rahmat, yang tak lain putra Amangkurat I, Pangeran Pekik melarikan Roro Oyi yang disukai pemuda itu.

Aksi itu membuat Amangkurat I murka.

Semua yang dianggap terlibat skandal ini dibunuh dan dimakamkan di Banyusumurup, termasuk Roro Oyi.

Ini benar-benar lokasi yang sangat terpencil pada masa itu, dan hingga sekarang pun terhitung ada di lokasi yang tersembunyi.

Posisinya di selatan Astana Imogiri, dipisahkan perbukitan Mangunan yang menjulang.

Dusun Banyusumurup juga muncul seiring keberadaan makam khusus tersebut.

Jika dihitung dari sejak kematian dan pemakaman Pangeran Pekik, masjid, dusun, dan makam Banyusumurup sudah melewati masa 359 tahun atau 3,5 abad.

Tak banyak berubah

Menurut Hadi Suntoko Raharjo, Bendahara Takmir Masjid Banyusumurup, masyarakat umumnya tahu masjid yang dikelolanya masih terhitung bangunan kagungan dalem atau milik keraton.

"Namun sekarang dikelola masyarakat sendiri," kata Raharjo kepada Tribun Jogja.

Secara arsitektural, bentuk asli bangunan tak banyak berubah.

"Bahkan tiang, blandar, usuk dan suwunan masih asli entah dari masa kapan. Katanya, sih, ini masih asli sejak berdirinya," jelas Raharjo.

Renovasi dilakukan beberapa kali dan swadaya warga.

Baca: Dark Sword, Jet Supersonik Nirawak China yang Muncul Menggemparkan

Saat gempa bumi Bantul 2006, sebagian besar tembok masjid rusak berat dan kemudian direhab.

Begitu juga bagian depan diberi dinding berjendela kaca.

Namun, ornamen lainnya masih relatif bagus.

Perbaikan terbaru dilakukan dengan menambah kanopi berbahan baja ringan dan galvalum.

Sedikit banyak penempatan kanopi ini menghalangi penampakan utuh arsitektur asli masjid ini.

"Itu dibuat belum lama, guna menaungi halaman kalau jemaah meluber," tambah Raharjo yang juga seorang pengrajin keris ini.

"Dulu waktu Gusti Yudho masih di Dinas Kebudayaan, katanya mau direnovasi supaya terlihat arsitektur aslinya. Namun, rencana itu menguap seiring lengsernya Gusti Yudho dari instansi tersebut," lanjutnya.

Selain struktur bangunan bertiang dan rangka kayu jati, sisa kekunoan masjid ini juga bisa dilihat dari keberadaan bedug dan mimbar tua.

Kedua elemen penting tempat ibadah itu kini disimpan di ruang pawastren di sebelah kiri masjid.

Untuk kegiatan selama bulan Ramadan, menurut Raharjo, pengurus akan menggelar kegiatan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Ada pengajian anak-anak tiap sore sebelum buka, tarawih, dan khataman Alquran.

Raden Ronggo

Sebagaimana sebelumnya juga, momen-momen tertentu nantinya akan melibatkan abdi dalem keraton yang mengurusi Makam Banyusumurup, dan secara tradisi juga meliputi masjid tersebut.

Terkait riwayat penggunaan Masjid Banyusumurup untuk acara terkait keluarga keraton, menurut Raharjo sudah lama tidak ada.

"Ya, mungkin terakhir waktu pemindahan makam Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Banyusumurup ke Magetan," ujarnya.

Kerangka jasad Adipati Madiun itu sempat transit di Masjid Banyusumurup sebelum dibawa pergi.

Baca: Diskusi Buku Babad, Hikayat dan Syair bagi Sejarah Purworejo dan Madiun Abad ke-19

Pemindahan kerangka jasad Raden Ronggo Prawirodirjo meninggalkan sepenggal kisah menarik dan mistis.

Pemindahan dilakukan saat musim kemarau, dan tiba-tiba saja datang angin kencang disusul petir bersahutan dan hujan turun menderas.

Kisah dari masa tahun 1960-an ini diceritakan tak hanya oleh satu dua orang warga Banyusumrup.

Raden Ronggo semasa hidup dikenal tokoh hebat, berkemauan kuat dan berani melawan kolonialis Belanda.

Ia mengangkat senjata di Madiun, tapi kemudian nasibnya memburuk.

Ia tewas di tangan seorang pangeran yang dikirimkan Sultan Hamengkubowono II guna meredam perlawanannya yang dianggap bisa membahayakan kerajaan.

Raden Ronggo ini tak lain menantu sang Sultan. (TRIBUNJOGJA.COM/Setya Krisna S.)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved