Singgah di Masjid Bersejarah

Video Langgar Dhuwur Kotagede, Berumur Lebih dari Satu Abad

Selain Masjid Gede Mataram sebagai pusat kajian Mataram Islam, beberapa bangunan di sana juga menjadi bagian dari perkembangan Islam di Yogya

Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Ari Nugroho

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kotagede Yogyakarta menjadi salah satu wilayah penting terkait sejarah perkembangan Islam.

Selain Masjid Gede Mataram sebagai pusat kajian Mataram Islam, beberapa bangunan di sana juga menjadi bagian dari perkembangan Islam di Yogyakarta.

Langgar Dhuwur Kotagede adalah salah satu bangunan yang bisa mewakili bagaimana masyarakat pemeluk Islam menjalankan ibadahnya sehari-hari.

Langgar adalah tempat beribadah layaknya sebuah musala atau masjid.

Bedanya, langgar ini berada satu area dengan rumah pribadi.

Langgar dibangun untuk aktivitas ibadah oleh si empunya rumah secara swadaya sebagai kelengkapan sebuah rumah tinggal.

Umumnya langgar dhuwur dibuat lebih tinggi seperti sebuah rumah panggung di bagian depan rumah utama.

Baca: Video Masjid Al Huda, Langgar Itu Peninggalan Ki Ageng Giring

Untuk itu disebut langgar dhuwur, karena dhuwur bermakna tinggi dalam bahasa Jawa.

Salah satu langgar dhuwur yang ada di Kotagede adalah milik Ahmad Charis Zubair yang terletak di Boharen, Purbayan, Kotagede.

Kepada Tribun Jogja, Charis bercerita soal sejarah langgar dhuwur di rumahnya ini.

Sembari mengajak untuk melihat lebih dekat detil bangunan langgar ini ia bercerita, langgar ini dibangun pada tahun 1330 Hijriyah.

Hingga saat ini (1439 Hijriyah) langgar tersebut berusia kurang lebih 109 tahun.

Tahun pembuatan langgar tertera di salah satu atap bagian bangunan.

Charis sendiri adalah generasi ketiga yang menjadi pewaris langgar ini.

Pertama langgar ini dibangun oleh Kakeknya, bernama H. Muhsin, kemudian diwariskan ke ayahnya Zubair Muhsin, lalu ke dirinya.

Baca: Video Masjid Syuhada, Bung Karno Pun Mengaku Bangga

Sejak tiga tahun terakhir, langgar ini memang sudah tidak lagi digunakan untuk kegiatan ibadah.

Menurut Charis, semenjak fasilitas ibadah seperti masjid dan musala banyak berdiri, jemaah langgar semakin menyusut.

Hal ini wajar terjadi lantaran jemaah memilih beribadah di musala atau masjid yang daya tampungnya lebih banyak.

Kelengkapan rumah

Langgar sendiri didirikan saat itu sebagai kelengkapan sebuah rumah.

Menurut Charis yang juga seorang budayawan ini, konsep rumah tinggal lengkap dengan tempat ibadah ini mirip dengan masyarakat pemeluk Hindu di Bali.

Di Bali, hampir setiap rumah pemeluk Hindu memiliki tempat ibadah.

Keberadaan langgar pada waktu itu sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitar langgar sebagai tempat ibadah.

Meskipun milik pribadi, tapi langgar memang diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin beribadah di situ, untuk kebersamaan.

"Tiga tahun lalu masih dipakai salat tarawih. Sekarang memang sudah tak dipakai karena pertimbangan praktis saja, ini kan naik pakai tangga, untuk jemaah yang sudah berusia senja memang agak kesulitan, dan lagi sudah banyak musala dan masjid besar, tidak seperti dulu yang masih terbatas. Jadi langgar berperan penting," terang Charis.

Baca: Video Masjid Agung Magelang, Dibangun saat Inggris Menguasai Jawa

Lanjut Charis, kira kira di tahun 1990-an, keberadaan langgar serupa tercatat masih ada sebanyak tujuh langgar.

Di antaranya ada di wilayah Lebihan, Joyopranan, dan Alun-Alun Kotagede.

Seiring berjalan waktu, saat ini hanya tersisa satu saja langgar yang masih utuh bangunannya, yakni langgar di tempatnya ini.

Bila dilihat dari desain bangunan, langgar dhuwur milik Charis ini sangat mirip dengan rumah panggung.

Langgar ini hampir 100 persen terbuat dari kayu , utamanya kayu jati pilihan.

Meskipun sudah berusia 109 tahun, tapi kondisi bangunan masih sangat kokoh.

Menurut Charis, rata-rata mereka yang sanggup membangun langgar di rumahnya memang dari masyarakat berada.

Mengingat biaya untuk membangun langgar juga tidak sedikit.

Di langgar dhuwur yang mampu menampung sekitar 50 jemaah ini semua bangunan masih terawat.

Hanya beberapa bagian saja yang lapuk karena selalu terkena hujan dan terik matahari.

"Pernah ada teman dari Malaysia bertandang ke sini, mereka bilang ini mirip bangunan rumah tinggal orang Melayu. Mungkin mereka lihat motif kayu hiasan bangunan memang sangat mirip bangunan Melayu," kata Charis.

Bangunan langgar terbagi menjadi dua, yakni bangunan atas untuk ibadah dan bangunan bawah sebagai toilet dan padasan.

Padasan adalah tempat untuk wudu.

Disebut padas karena bermakna menghilangkan hadas atau kotoran.

Charis menambahkan, di masa kecilnya, bila Ramadan seperti ini, langgar selalu penuh saat buka puasa dan tarawih.

Setiap hari selama Ramadan, dulu di langgar ini juga disediakan menu takjil untuk berbuka puasa.

Saat ini bangunan langgar lebih banyak dikunjungi sebagai salah satu destinasi wisata budaya dan religi. (TRIBUNJOGJA.COM/Yudha Kristiawan)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved