Singgah di Masjid Bersejarah
Video Masjid Agung Magelang, Dibangun saat Inggris Menguasai Jawa
Selain bangunannya yang indah nan megah, masjid berusia ratusan tahun ini ternyata juga memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Jika mampir ke Kota Magelang, sempatkanlah berkunjung ke Masjid Agung Kauman Kota Magelang.
Selain bangunannya yang indah nan megah, masjid berusia ratusan tahun ini ternyata juga memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Masjid ini menjadi saksi perjalanan sejarah Kota Magelang.
Merujuk dokumen sejarah, Masjid Agung Kauman Kota Magelang didirikan pada tahun 1810 oleh Bupati Magelang, Danukromo yang bergelar Danuningrat I, saat diangkat menjadi Bupati Magelang pada masa kekuasaan Inggris tahun 1813.
Saat itu, Danuningrat I membangun rumah bupati dan sebuah masjid di utara Alun-Alun Kota Magelang.
"Masjid didirikan oleh Bupati Magelang kala itu, Danuningrat I pada tahun 1810, meskipun terdapat kerancuan karena Inggirs baru berkuasa pada tahun 1811 dan Danukromo/Danuningrat I baru menjadi Bupati pada taun 1813," kata salah seorang pegiat sejarah Kota Magelang, Bagus Priyana, Minggu (13/5/2018).
Baca: Video Masjid Perak, Saksi Kejayaan Wilayah Kotagede
Pada awal masa pemerintahannya, selain membangun masjid dan rumah Bupati, Danuningrat I juga membuat Alun-Alun Kota Magelang.
Danuningrat I bisa dikatakan sebagai peletak dasar tata ruang Kota Magelang.
Sebelum didirikan sebuah masjid dan rumah bupati, di lokasi yang sama juga sudah berdiri satu musala.
"Sebelum didirikan masjid, tempat tersebut berdiri sebuah musala yang mana ketika mau berwudu harus mengambil air ke Kali Progo di (sebelah) barat," ucap Bagus.
Bangunan Masjid Agung Kauman Kota Magelang terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Pada masa Bupati Danuningrat II, luasan masjid bertambah luas, dengan menambah sisi kanan kiri masjid.
Begitu juga pada masa Danuningrat III tahun 1871 masjid kembali diperluas lagi dengan menambah serambi depan dan menara kecil.
Baca: Video Masjid Taqwa, Konon Dibangun di Atas Tanah Perdikan
Perbaikan besar-besaran dilakukan oleh pada masa bupati Magelang ke-5 yaitu Danusugondo.
Saat itu tahun 1934, masjid kembali diperluas.
Melalui bantuan arsitek kenamaan di masa itu, Heer H. Pluyter, dibangun serambi depan dengan jumlah pintu masuk sembilan buah, seperti jumlah Walisanga sebagai simbol penyebar Islam di Jawa.
"Jumlah pintu masuk sebanyak sembilan buah yang diumpamakan sebagai 'Walisanga' yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Lokasi masjid ini ada di Aloon-Aloon West, atau alun-alun barat," tutur Bagus.
Selanjutnya bentuk Masjid Agung Kauman Kota Magelang hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Beberapa penambahan seperti bangunan perkantoran yang ada di sebelah kiri dan tempat berwudu yang ada di sebelah kanan.
Menara juga direnovasi.
Bangunan inti masih bertahan hingga saat ini.
Ruang
Bangunan menara yang ada di depan masjid itu sendiri memiliki atap limas dengan tiga tingkatan yang diyakini masyarakat sebagai penggambaran terhadap Iman, Islam, dan Ihsan.
Masuk ke dalam Masjid Agung Kauman Kota Magelang, terdapat ruang yang begitu lapang dan atap yang tinggi.
Tiap dindingnya bercat putih dan di bagian depan dihiasi mozaik bertuliskan huruf hijaiah.
Masjid Agung Kauman sendiri dibagi menjadi ruang serambi dan ruang salat.
Di ruang salat tersebut, suasana lebih tertutup karena dikelilingi dinding tertutup.
Sedangkan serambi lebih terbuka. Serambi masjid biasa digunakan apabila jemaah di ruang salat sudah penuh.
Baca: Video Masjid Banyusumurup, Soko Guru Asli dari Masa 3,5 Abad Lalu
Menurut Takmir Masjid Agung Kauman Kota Magelang, KH. Miftachusururi, memiliki versi sejarah tersendiri, Masjid Agung Kauman Kota Magelang didirikan sekitar tahun 1650 oleh seorang tokoh ulama dari Jawa Timur KH. Mudakir.
"Masjid belum seluas dan semegah sekarang. Dulunya hanya masih berstatus langgar atau musala. Jemaah yang akan salat harus mengambil air wudu di Sungai Progo yang jaraknya sekitar 1 kilometer, karena saat itu belum teraliri air,” kata Miftach.
Lanjutnya, pada tahun 1779 dibuat sumur di dekat masjid sehingga bisa dijadikan untuk berwudu.
Dua puluh tahun berselang, bangunan masjid mengalami pemugaran meliputi penambahan mimbar dan tiang yang terbuat dari kayu jati didatangkan dai Bojonegoro.
"Pemugaran ini tertera dalam prasasti yang ditulis dengan dua bahasa yakni bahasa Arab dan Belanda, yang saat ini masih terawat dengan baik di dalam Masjid Agung Kauman," katanya.
“Dung”
Di Masjid Agung Kauman Kota Magelang dahulu di era 1980-an, setiap bulan Ramadan, terdapat tradisi yang cukup unik.
Momen jelang buka puasa, ditandai dengan suara keras dari meriam.
Suara ”dung” maupun ”bom” itu yang terdengar saat sejenis petasan berbentuk bola berdiameter sekitar 10 sentimeter itu dinyalakan.
Di dalam bola itu diisi dengan serbuk mercon yang di tengahnya dipasang sumbu.
Saat disulut bom diletakkan di ujung tabung berisi sekitar 1,5 meter.
Sebelum dinyalakan, bom yang sudah dipasang di tempatnya harus diarahkan ke udara, kemudian dinyalakan menggunakan korek api pada sumbunya.
Baca: Warga Kota Yogya Diimbau Tidak Bunyikan Petasan selama Ramadan
Setelah itu bom akan meluncur keatas didiringi dengan suara dentuman seperti suara bom.
”Suara itu lah yang oleh warga Magelang menjadi satu-satunya tanda berbuka puasa,” kata Miftah.
Petasan itu dinyalakan setiap jelang berbuka puasa atau jelang waktu magrib, di tengah alun-alun.
Suara dentuman tersebut bahkan dapat terdengar hingga di seluruh pelosok Kota Magelang.
Masyarakat setempat mengenalnya dengan suara ”dung”.
Tradisi tersebut kemudian berhenti dilakukan, setelah pemerintah melarang tradisi itu karena dianggap berbahaya pada tahun 1985.
Pengumuman berbuka puasa kemudian diganti menggunakan sirene yang dipasang di atas tugu water torn di alun-alun.
"Sirine itu juga tidak berlangsung lama karena sirene rusak hingga sekarang. Penanda berbuka puasa lantas diganti menggunakan tabuhan bedug dan suara azan melalui pengeras suara sampai sekarang,” ujar Miftah. (TRIBUNJOGJA.COM/Rendika Ferri)