Cerita Saat Air Tiba-tiba Mengalir Begitu Sultan Agung Menancapkan Tongkatnya
Sultan Agung menancapkan tongkatnya ke tanah, dan mengucurlah air yang mengalir ke lembah. Tempat itu akhirnya dinamakan Banyusumurup
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - Lembah kecil di bawah perbukitan Imogiri itu terasa sunyi syahdu.
Cericit suara burung dan gemericik air sungai jadi pewarna suasana hari-hari di sebuah komplek makam kuno berbenteng kokoh.
Pasareyan Banyusumurup ini terletak di bagian atas wilayah dusun bernama sama di Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul.
Letaknya di sebelah tenggara Pajimatan Makam Raja-raja di Imogiri, dipisahkan jurang, jalan, dan bukit menuju Mangunan.
Orang banyak umumnya hanya mengenal Banyusumurup sebagai makam Pangeran Pekik.
Hanya sedikit yang tahu riwayat dan sejarah gelap yang mewarnai kehadiran makam khusus di Banyusumurup ini.
Lokasi ini cukup mudah dicapai menggunakan sepeda motor atau mobil pribadi. Dari Pasar Imogiri bisa melalui jalan arah Makam Raja-raja dan Dlingo/Mangunan. Di pertigaan arah makam dan Mangunan, ambil yang ke arah Mangunan.
Lebih kurang satu kilometer ada pertigaan dekat SD Pundung. Jalur lurus menanjak ke Mangunan, ambil ke kanan. Sesudah SD ada lapangan sepakbola, belok kiri dan ikuti jalan aspal hingga sampai gerbang masuk Dusun Banyusumurup.
Ikuti jalan aspal kecil yang menanjak yang berujung di komplek Makam Banyusumurup dan area hutan perbukitan pendidikan milik UGM. Makam ini pada hari-hari biasa dijaga abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Surakarta secara bergantian.
(Baca: Cerita Seram Saat Pemindahan Makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III : Awan Hitam dan Petir Bersahutan)
Ada 10 abdi dalem dari dua keraton, masing-masing 6 dari Yogyakarta dan 4 dari Surakarta. Mereka bertugas bergantian empat hari dalam satu shift. Dari 10 abdi dalem itu, hanya satu orang yang tinggal di Dusun Banyusumurup.
Dialah Pak Mugi Wiharjo. Rumahnya di selatan masjid Dusun Banyusumurup, dibatasi sungai. Pak Mugi inilah yang biasanya jadi jujugan para pengunjung, baik yang hendak berziarah maupun sekedar jalan-jalan.
Kunci makam memang disimpan di rumah Pak Mugi ini. "Kalau ada yang datang ya biasanya ke saya dulu karena yang tinggal paling dekat dengan makam ya saya," kata Mugi di rumahnya, Kamis (4/1/2018).
Sembilan abdi dalem lain tinggal di Giriloyo, dekat Pajimatan Imogiri. Selain jadi abdi dalem dan juru kunci makam, rata-rata mereka punya pekerjaan sampingan. Jika tidak bertani, berdagang, atau jadi pengrajin batik di Giriloyo.
Tugas pengabdian di Makam Banyusumurup juga didapatkan turun temurun di bawah koordinasi Keraton Yogyakarta dan BPCB DIY karena masuk bangunan cagar budaya. Secara rutin biasanya ada pertemuan dipusatkan di Makam Raja-raja Imogiri.
"Terutama jika ada acara besar atau tamu penting yang berkunjung. Kita akan kumpul di pajimatan. Sedangkan di hari-hari tertentu, semua abdi dalem akan berkumpul di tempat tugas masing-masing di Imogiri, Giriloyo dan Banyusumurup ini," jelas Mugi.
Hari-hari khusus yang biasanya ramai peziarah adalah Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon menurut hari pasaran Jawa. Di Banyusumurup, selain pasareyan Pangeran Pekik, ada situs penting lain yaitu Masjid Kagungan Dalem.
(Baca: Namanya Mertolulut, Sang Algojo Keraton Mataram. Begini Kisah Seram Tentangnya)
Masjid ini diduga seumuran, atau didirikan seumuran dengan pembangunan Makam Banyusumurup. Ada dua teori tentang kapan masjid ini dibangun. Ada yang berpendapat dibangun era Sultan Agung.
Kardi (78), warga Dusun Banyusumurup mendapat cerita legenda masjid ini erat kaitannya dengan pendirian sekaligus penamaan dusun lokasi.
Konon, suatu ketika Sultan Agung dan pengikutnya sedang mencari lokasi untuk makam raja.
Sesampai di suatu perbukitan, mereka istirahat. Ada yang haus dan juga hendak salat. Karena tidak ada air di sekitar, mereka mengadu ke Sultan Agung. Lantas raja sakti itu berkata, tak lama lagi mereka akan melihat air (sumurup banyu).
Sultan Agung menancapkan tongkatnya ke tanah, dan mengucurlah air yang mengalir ke lembah. Tempat itu akhirnya dinamakan Banyusumurup. Sebuah masjid juga didirikan tak jauh dari mata air tersebut.
Versi lain menyebut masjid didirikan bersamaan pembangunan makam Pangeran Pekik, kerabat dan pengikutnya. Ini terjadi pada masa kekuasaan Sunan Amangkurat (I), yang menggantikan Sultan Agung, ayahandanya yang mangkat.
Teori kedua ini agaknya lebih masuk akal karena masjid jadi kelengkapan utama sebelum pemakaman atau penziarahan. Makam Banyusumurup menjadi spesial karena dari riwayat sejarahnya memang khusus peruntukannya.
Makam ini jadi lokasi penguburan orang-orang penting dan masih kalangan berdarah biru yang dianggap membangkang atau melawan raja berkuasa, khususnya Amangkurat Tegalwangi (I).
Selain Pangeran Pekik yang putra Adipati Surabaya, dimakamkan pula perempuan muda yang kisahnya mengharubiru, yaitu Roro Oyi atau Roro Hoyi. Kisah Roro Oyi ini jadi sequel lanjutan cerita dramatis Ratu Malang yang dimakamkan di Gunung Kelir.
Kisah kedua perempuan malang ini berpusar di sekitar kehidupan Sunan Amangkurat (I) dan melibatkan trik intrik Adipati Anom, atau Pangeran Tejoningrat yang jadi Putra Mahkota, serta para elite di sekitarnya.
Pangeran Purbaya, yang terbilang kakek Putra Mahkota atau paman Sunan yang berkuasa, terlibat dalam intrik berdarah melibatkan Roro Oyi ini.
Dengan demikian pada satu masa sekitar 350 tahun lalu, makam Banyusumurup dijadikan kuburan massal korban hukuman raja akibat skandal Roro Oyi. Total jumlah yang dikubur di makam ini ada 52 jenazah dihitung dari penanda nisan yang ada.
Sebagian merupakan kuburan orang hukuman jauh sesudah masa Sunan Amangkurat (I) yang bergelimang darah. Termasuk makam Raden Ronggo Prawirodirdjo (III) yang amat terkenal karena memberontak pada masa Sri Sultan HB II.
Sesungguhnya Adipati Maospati-Madiun (1797-1810) ini melawan ekspansi VOC, bukan memberontak pada penguasa Mataram. Ia diburu pasukan VOC dibantu sekutu keraton, dan akhirnya terpojok dan gugur di Kertosono, Jawa Timur.
Jenazah menantu Sri Sultan HB II ini dibawa ke Keraton Yogyakarta, dan sesudah dipertontonkan kepada umum, dimakamkan di Banyusumurup, menyatu dengan kuburan para hukuman lain pada 1810.
Pada 1957 di masa Sri Sultan HB IX, makam Raden Ronggo Prawirodirjo III ini dibongkar dan dipindahkan ke makam Gunung Bancak di Magetan, Jawa Timur. Di makam inilah bersemayam istrinya, BRAy Maduretno, putri Sri Sultan HB II.
Pembongkaran dan pemindahan kerangka jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo III inilah yang menyisakan cerita seru seram sekaligus mistis. Tak banyak yang tahu kisah apa yang menyertai pemindahan kerangka Raden Ronggo ini. (*)