Aktion T4, Program Nazi Paling Keji yang Bertanggung Jawab Atas Tewasnya Ratusan Ribu Difabel

Oktober 1939, Adolf Hitler menandatangani undang-undang yang memerintahkan Nazi Jerman untuk membunuh para pasien yang diangggap 'tak layak hidup'

Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
Wikimedia Common
Salah satu foto yang memperlihatkan para korban program Aktion T4 

TRIBUNJOGJA.com - Oktober 1939, Adolf Hitler menandatangani undang-undang yang memerintahkan Nazi Jerman untuk membunuh para pasien yang diangggap 'tak layak hidup'.

kebijakan itu kemudian dikenal sebagai program Aktion T4. Istilah ini merujuk pada nama sebuah alamat yakni Tiergartenstrasse 4, tempat Departemen Kanselir Berlin yang mempekerjakan dokter yang ditunjuk untuk melakukan program euthanasia.

Surat perintah dari Hitler untuk menjalankan program euthanasia
Surat perintah dari Hitler untuk menjalankan program euthanasia (Wikimedia Common)

Setidaknya ada dua orang yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan perintah ini. Yaitu Kepala Kanselir Philip Bouhler dan dokter pribadi Hitler, Dr Karl Brandt.

Adapun program ini dicetuskan berdasarkan penafsiran atas hukum alam Darwinis, survival of the fittesst, yakni mereka yang terkuatlah yang akan bertahan hidup.

Mengerikan, program inilah yang kemudian bertanggung jawab atas pembantaian ratusan ribu difabel di Jerman.

Mereka yang mengalami gangguan mental dan fisik dibunuh, termasuk diantaranya anak-anak yang lahir cacat. Tujuannya untuk menjaga kemurnian ras, sehingga tidak melahirkan keturunan dengan kondisi yang sama.

Pada paruh pertama abad 20, memang tengah gencar-gencarnya implementasi Teori Eugenic, yakni ilmu untuk meningkatkan kualitas genetika manusia. Teori ini populer di Eropa dan Amerika Serikat.

Philipp Bouhler (kepala program Aktion T4), Karl Brandt (Dokter pribadi Hitler), Viktor Brack (Pelaksana program)
Philipp Bouhler (kepala program Aktion T4), Karl Brandt (Dokter pribadi Hitler), Viktor Brack (Pelaksana program) (Wikimedia Common)

Swedia, Swiss dan Amerika Serikat bahkan mengesahkan undang-undang yang mendukung program sterilisasi individu yang dianggap membawa penyakit turunan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental seseorang, semisal skizofrenia.

Atas dasar itulah, Hitler membuat hukum sterilisasi pada tahun 1933 dengan mengeluarkan 'Hukum untuk pencegahan hereditarily Ddisease offspring'. Targetnya yakni orang-orang yang memiliki penyakit mental turunan meliputi skizofrenia, epilepsi, huntington chorea. Undang-undang ini juga berdampak pada mereka yang mengalami sakit kronis, pecandu alkohol dan mereka yang memiliki catatan penyimpangan sosial.

Dalam praktiknya, mereka membidik para narapidana yang tinggal di panti jompo, rumah sakit jiwa, penjara, panti asuhan, dan sekolah-sekolah bagi kaum difabel.

Bus yang digunakan untuk membawa para calon korban euthanasia
Bus yang digunakan untuk membawa para calon korban euthanasia (Wikimedia Common)

Perkiraan jumlah orang yang disterilisasi mencapai 360.000 jiwa dalam periode antara 1933 dan 1939.

Pada tahun 1937, terjadi penyusutan dalam angkatan kerja sehingga sterilisasi kembali digiatkan. Kemudian Pada tahun 1939, kondisi perang memaksa Nazi untuk mempertimbangkan kembali kebijakan mereka.

Hitler memahami bahwa dia tidak bisa menerapkan hukum euthanasia sebelum perang, tetapi ketika upaya perang dimulai, banyak desakan untuk mengosongkan tempat tidur rumah sakit yang disediakan untuk pasien sakit parah atau pasien dengan kelainan mental.

Undang-undang ini memang baru disahkan pada Oktober 1939. Namun ujicobanya sudah dilakukan sejak bulan Juli di tahun yang sama. Karl Brandt, melakukan euthanasia terhadap seorang bocah tunanetra dan cacat mental. Tapi tindakan itu diklaim atas dasar permohonan yang diajukan oleh pihak keluarga bocah itu.

Bocah itupun meninggal pada September 1939, atau sebelum undang-undang disahkan.

Salah satu foto yang memperlihatkan para korban program Aktion T4
Salah satu foto yang memperlihatkan para korban program Aktion T4 (Wikimedia Common)

Euthanasia ini tidak pernah disetujui secara hukum, karena seluruh program dilaksanakan hanya mengandalkan surat yang ditulis oleh Hitler dan bukan pada keputusan resmi. Hitler dengan sengaja melewati Menteri Kesehatan dan departemennya, yang mungkin telah mengajukan pertanyaan tentang legalitas program tersebut.

Setelah itu, Reich Committee for Scientific Registering of Hereditary dan Congenital Illnesses didirikan sebagai institusi untuk memonitor dan mendaftarkan bayi yang baru lahir dengan kelainan tertentu.

Pembantaian rahasia bayi pun dimulai pada tahun 1939 dan meningkat setelah perang dimulai. Pada 1941, lebih dari 5.000 anak tewas.

Setidaknya ada enam pusat pembantaian yang didirikan berdasarkan keberadaan rumah sakit jiwa. Meliputi fasilitas di Bernburg, Brandenburg, Grafeneck, Hadamar, Hartheim, dan Sonnenstein.

Baca juga:

Irma Grese, Perempuan Penjaga Kamp Nazi Paling Sadis dalam Sejarah

Teriakan Menggetarkan Seorang Remaja Pemberani Menjelang Mautnya di Tiang Gantungan Nazi

Pembantaian yang Terlupakan! 10 Bukti Foto Mengerikan Genosida Nazi Terhadap Etnis Polandia

Tak hanya membunuh, namun mereka juga mengambil otak para korban euthanasia untuk digunakan sebagai bahan penelitian.

Nazi menggunakan berbagai tipuan ketika berhadapan dengan orang tua dan wali hukum. Seringkali, mereka akan berbohong dengan mengatakan bahwa anak-anak itu dikirim ke lembaga-lembaga khusus dimana mereka akan menerima perawatan medis lanjutan.

Anak-anak memang dikirim ke lembaga khusus, dimana mereka bertemu dengan kematian mereka.

Mereka dikumpulkan selama beberapa minggu untuk "penilaian" yang menentukan apakah ia layak hidup atau tidak. Bagi mereka yang dianggap tidak layak hidup, meka mereka akan disuntik dengan racun mematikan, fenol. Kemudian, penyebab kematian sering diklaim sebagai pneumonia.

Ketika perang berlangsung, persetujuan orang tua atau wali tidak lagi dianggap perlu, dan pembunuhan dilakukan jauh lebih cepat dengan melewati proses 'penilaian' atau penyaringan.

Orang tua yang memberontak sering diancam bakal dikirim ke kamp kerja paksa. Keluarga juga dilarang mengunjunginya. Praktek ini berlangsung hingga 29 Mei 1945, ketika anak terakhir dibunuh, tiga minggu setelah perang berakhir. Nama anak itu adalah Richard Jenne.

Richard Jenne, salah satu anak yang dibunuh di Fasilitas Euthanasia Kaufbeuren-Irsee pada Mei 1945.
Richard Jenne, salah satu anak yang dibunuh di Fasilitas Euthanasia Kaufbeuren-Irsee pada Mei 1945. (Wikimedia Common)

Kebijakan yang sama diterapkan pula pada orang dewasa.

Orang dewasa pertama yang menjadi korban atas kebijakan ini yakni orang-orang Polandia pada tahun 1939 bersamaan dengan operasi Tannenberg.

Tindakan yang merupakan genosida ini dilakukan untuk membersihkan etnis Polandia di Polandia Barat sehingga tempat itu kemudian bisa dihuni oleh warga Jerman.

NAZI melakukan tindakan sterilisasi di rumah sakit- rumah sakit di wilayah yang mereka kuasai. Setidaknya da lebih dari 20 ribu pasien yang dibunuh.

Tak hanya menggunakan prosedur suntik, mereka juga menggunakan gas beracun di rumah sakit perawatan mental pada tahun 1940.

Di Pommern dan Prussia Timur, NAZI juga membantai 8000 pasien dengan maksud supaya tersedia lebih banyak ruang perawatan bagi para tentara Nazi yang teluka akibat perang.

Sementara penyerangan gas dilakukan di kamp konsentrasi Brandenburg, Herman di bawah pengawasan Victor Brack yang menjadi ketua penyelenggara program Euthanasia.

Nazi mulai menggunakan karbon monoksida murni. Dr. Brandt menyatakan selama persidangan di Nuremberg bahwa ini adalah "kemajuan besar dalam sejarah medis."

Selain kamar gas, eksperimen dilakukan dalam memanfaatkan gas van, yang ditemukan oleh Soviet NKVD sebelum perang dan populer disebut Dushegubka.

Adapun program ini secara resmi dilaksanakan dalam rentang waktu tahun 1939 hingga 1941, tetapi Nazi melanjutkannya sepanjang terjadinya perang.

Sulit untuk mengetahui jumlah pasti korban program Aktion T4. Namun dalam kurun waktu dua tahun saja, sudah ada 70.273 orang kehilangan nyawa.

Sejarawan memperkirakan bahwa jumlah total korban program mengerikan ini lebih dari 200.000 jiwa. (*/berbagai sumber)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved