Spionase Mossad Eli Cohen
Kisah Eli Cohen, Mata-mata Legendaris Israel di Suriah yang Berakhir di Tiang Gantungan #3
Ketika perang berkecamuk di Mesir 1942, Eli Cohen tampil berbeda dengan teman seusianya. Ia lebih menyukai berdiri bebas di tempat terbuka
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Dua kali serangan udara Israel ke Suriah dalam tujuh hari terakhir mengingatkan kisah seru operasi mata-mata Israel di Damaskus. Kamil Amin Taabes nyaris jadi orang nomer dua di Suriah, sebelum aksinya dibongkar Kolonel Ahmed Souwedani. Taabes adalah Eli Cohen, spion legendaris sepanjang sejarah Mossad. Buku "Mossad; Dinas Rahasia Israel", yang ditulis Denis Eissenberg melukiskan detail drama ini.
Dua Kali Lihat Saudaranya Sebangsanya Digantung
KISAH panjang ini dimulai di kantong permukiman Yahudi di Alexandria, Mesir. Tanggal 16 Desember 1924, Eliya Cohen dilahirkan di tengah keluarga Shaul dan Sofie Cohen. Keluarga itu bermigrasi dari tempat tinggal mereka sebelumnya di Aleppo, Suriah.
Shaul dan Sofie punya delapan anak, dan mereka menghidupi keluarga itu dari hasil berjualan kain sutera impor dari Paris. Namun kehidupan mereka dijalani sederhana saja di tengah peperangan dan ketidakpastian di Timur Tengah.

Eli Cohen tumbuh besar dan dididik orangtuanya menjadi Yahudi yang ortodoks. Namun ia juga merasa menjadi penduduk Mesir tulen, sama dengan teman-teman sebayanya yang nonYahudi. Eli Cohen pintar, mudah bergaul, namun sejatinya seorang penyendiri.
Ia gemar memotret, menyukai pesawat terbang, senang dengan matematika dan fisika. Ia sudah melupakan pelajaran agama, yang digerojokkan ke kepalanya saat ia belajar di sebuah pusat studi Talmud di Alexandria.
Baca berita terkait :
Kisah Eli Cohen : Amin Taabes Memulai Petualangan dari Buenos Aires
Kisah Eli Cohen : Nyaris Jadi Menteri Pertahanan Suriah
Kisah Eli Cohen : Saya Eli Cohen, dari Tel Aviv
Kisah Eli Cohen : Usaha Penyelamatan Eli Cohen Tak Ada yang Mempan
Ketika perang berkecamuk di Mesir 1942, Eli Cohen tampil berbeda dengan teman seusianya. Ia lebih menyukai berdiri bebas di tempat terbuka, menyaksikan langsung pesawat Jerman melayang- layang dan menjatuhkan bom-bom mereka ke basis tentara Inggris.
Sementara teman-temannya lebih banyak meringkuk di bunker-bunker persembunyian. Musim panas 1942, pasukan tank Rommel merangsek ke Kairo, perasaan kuat pro-Nazi merebak di Mesir. Pergolakan dan aksi anti-Inggris meningkat.
Ekstremis Yahudi memanfaatkan momen ini. Dua anggota Lechi, organisasi garis keras Yahudi yang dibentuk Abraham Stern, pada 5 November 1944, menembak mati Menlu Inggris untuk Timteng, Lord Moyne, di depan rumahnya di Kairo.
Pembunuhan ini membangkitkan kemarahan Inggris dan sekutunya. Dua pelaku pembunuhan ini, Eliya Beit Zuri dan Eliya Hakim, diciduk dan dihukum gantung.
Kelak terungkap, motif pembunuhan Lord Moyne adalah ekspresi kemarahan ekstremis Yahudi terhadap sikap acuh Inggris pada holocaust di Eropa. Hukuman mati atas dua Eliya itu menimbulkan perasaan emosional mendalam bagi kaum Yahudi Mesir.
Eli Cohen salah seorang yang melihat hukuman gantung itu dan merasakan emosi menjalari tubuh dan pikirannya. Pemandangan itu yang akan membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan patriotik di kemudian hari.
Persentuhan Eli Cohen dengan operasi mata-mata dimulai ketika ia dilibatkan dalam Operasi Goshen. Ini operasi pemindahan secara diam-diam kaum Yahudi dari Mesir ke tanah Palestina, dengan kedok perjalanan wisata.
Eli bekerja di Grunderg Travel Agency, yang tugasnya jadi penghubung ke petugas lokal pengurusan dokumen perjalanan. Tugas itu dijalankan dengan mulus sepanjang 1945 hingga 1949. Ada ribuan Yahudi Mesir dipindahkan ke tempat barunya di tanah Palestina.
Eli Cohen sempat kuliah di Universitas Farouk, namun sikap antiSemit warga Mesir membuatnya putus di tengah jalan. Ia mencoba keras kepala, namun kalah. Sekali lagi Eli Cohen mencoba bersikap patriotik dengan hadir di panggilan wajib militer Mesir.
Namun, ia tetap ditolak. David Ben Gurion pada 14 Mei 1948 memproklamasikan berdirinya negara Israel. Perang berkobar dengan hasil kekalahan di pihak Arab. Gencatan senjata diteken Januari 1949 dengan Mesir sebagai negara pertama yan meneken perjanjian.
Kekalahan itu menimbulkan kesulitan baru bagi warga Yahudi di Mesir. Mereka dipersekusi, rumah dirampok, kekerasan tak pernah berhenti. Tahun 1950, Eli Cohen memberangkatkan keluarganya ke negeri baru Israel.
Ia bertahan di Mesir bersama sekitar 45 ribu warga Yahudi yang tersisa. Musim dingin 1954, Letkol Gamal Abdul Nasser menggulingkan Jenderal Naguib. Perubahan ini menimbulkan pergeseran AS dan Inggris yang pro-Arab.
Orang-orang Israel tak tinggal diam. Operasi sabotase dirancang dan dilancarkan di Mesir. Operasi dipimpin Paul Frank, pria Yahudi kelahiran Cologne, Jerman. Tujuan sabotase adalah fitnah supaya sikap anti-Mesir muncul di pihak Washington dan Inggris.
Fitnah nanti akan dialamatkan ke kelompok komunis dan ekstremis Islam. Sebuah pusat informasi AS di Kairo diledakkan, juga kantor pos pusat di Kairo dan Alexandria dihancurkan. Namun, operasi rahasia itu berakhir tragis. Seorang pelaku, Philip Nathanson, tertangkap polisi Mesir.
Gerombolan agen Mossad itu diringkus dan diadili pada musim gugur 1954. Eli Cohen lolos dengan kemampuannya meyakinkan intelijen Mesir, bahwa ia sama sekali tidak tahu dan tidak terlibat sabotase.
Lima orang Yahudi dijatuhi hukuman berat. Marcelle Ninio dan Robert Dassa dihukum 50 tahun penjara. Philip Nathanson dan seorang pemuda Yahudi lain dipenjara seumur hidup. Samuel Azzar, teman kuliah Eli Cohen dan Dr Moshe Marzouk, dihukum mati.
Sekali lagi, Eli Cohen menyaksikan orang terdekatnya dihukum gantung di muka umum pada 1 Januari 1955. Tubuh mereka terayun-ayun di depan penjara Bab al-Halek. Eli merapal doa, untuk perjuangan kedua martir bagi negerinya itu. Ia akan menyusulnya.(xna)