Budaya
Perlu Diketahui, Ini Makna Labuhan Ageng Parangkusumo
Ini makna Labuhan Ageng Parangkusumo yang dilaksanakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Hari Susmayanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin
TRIBUNJOGJA.COM - Asap dupa masih mengepul pekat dari dalam Cepuri Parangkusumo, ketika iringan para Abdi Dalem pembawa empat ancak mulai berangkat menuju Pantai Selatan.
Empat ancak yang diarak menuju pantai selatan diawali dengan dua songsong payung berwarna kuning keemasan.
Keempat ancak itu berisi beraneka macam sesajian yang hendak dilarung (dilabuh) ke Pantai Selatan.
Masing-masing ancak itu diusung oleh Empat Abdi Dalem dari keempat sisi penjuru.
Ancak pertama merupakan 'Pengajeng' berisi pengageman (pakaian) perempuan sebagai sarat utama labuhan.
Konon, pakaian ini merupakan persembahan kepada penguasa Pantai Selatan.
Ancak kedua berisi 'penderek pengageman' berisi aneka pakaian Sultan, namun bukan pakaian utama.
Ancak ketiga dan keempat merupakan sekar yang berisi pakaian para abdi dalem.
Menariknya, di antara keempat ancak ada payung sebagai sekat antara pengageman utama dengan pengageman pengiring.
Abdi Dalem Parangkusumo, Mas Jajar Surakso Tri Rejo, menjelaskan, Labuhan merupakan adat tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tradisi ini merupakan jalinan silaturahmi antara penguasa laut selatan yang biasa dikenal dengan Nyi Roro Kidul dengan para penguasa kerajaan Mataram.
"Lebuhan ini tradisi untuk menjalin silaturahmi Kerajaan laut selatan dan keraton Ngayogyakarta. Konon, antara penguasa laut selatan dengan pendiri kerajaan Mataram Islam, Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) telah terjadi kesepakatan ketika pertama kali hendak membuat kerajaan," terangnya, saat ditemui usai ritual Labuhan, Senin (16/4/2018)
Kesepakatan itu, lanjut dia, berupa kesanggupan Nyi Roro Kidul untuk membantu Danang Sutawijaya mengatasi segala macam ancaman yang bersifat ghoib.
"Danang Sutawijaya itu kan penguasa dohir (wadag) sementara Nyi Roro Kidul penguasa ghoib," terang dia.
Namun, bantuan yang diulurkan penguasa pantai selatan memiliki catatan, di antaranya, antara Ratu Pantai Selatan dengan para penguasa kerajaan Mataram Islam yang sekarang menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat harus ada hubungan secara berkelanjutan.
"Labuhan ini adalah tradisi untuk menjalin silaturahmi itu," jelas dia.
"Walaupun pada hakikatnya, ini merupakan wujud rasa syukur kepada Allah Swt , supaya Sultan selalu sehat dan Kraton langgeng," imbuh dia.
Lebih lanjut, Mas Jajar Surakso Tri Rejo menjelaskan, pertemuan antara pendiri kerajaan Mataram Islam dengan Nyi Roro Kidul bertempat di Cepuri Parangkusumo ketika Danang Sutawijaya memutuskan untuk bersemedi mencari wangsit.
Cepuri yang menjadi lokasi pertemuan itu saat ini telah dipagar keliling berwarna putih dan disakralkan.
Bentuknya berupa dua batu gelang yang saling berhadapan.
Uniknya, letak batu itu menghadap lepas ke arah pantai selatan.
Lokasi ini menjadi awal empat ancak labuhan dilakukan ritual, sebelum akhirnya dilarung menuju pantai.
"Saat pertemuan itu, Danang Sutawijaya berada di batu sebelah utara," ungkap dia.
Labuhan Parangkusumo sebagai hajad dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini memiliki makna adanya hubungan yang erat antara pantai selatan, Gunung Merapi dengan Kraton Yogyakarta.
"Bisa dilihat dari adanya garis imajiner yang menghubungkan lurus, antara pantai Selatan, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu Yogya hingga Gunung Merapi," papar dia.
Prosesi labuhan tampak bersifat sakral.
Disaksikan para pengunjung, para Abdi Dalem menjalankan ritual labuhan dengan khidmat. (tribunjogja)