Bandara Kulonprogo
Merasa Digantung AP I, Warga Mantan Penolak Bandara NYIA Gelisah
Mereka kecewa dan merasa 'digantung' oleh PT Angkasa Pura I sebagai pemrakarsa pembangunan bandara tersebut karena tak kunjung mendapatkan kejelasan.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Warga mantan penolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) dari kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT) kembali mempertanyakan kejelasan proses pengajuan diskresi (keringanan) penilaian ulang asetnya.
Mereka kecewa dan merasa 'digantung' oleh PT Angkasa Pura I sebagai pemrakarsa pembangunan bandara tersebut karena tak kunjung mendapatkan kejelasan.
Aset warga terdampak berupa bangunan, tanaman, dan sarana pendukung lain (SPL) beberapa waktu lalu sudah dinilai ulang oleh appraisal, tak lama setelah kelompok warga itu berubah arah mendukung proyek bandara tersebut, jelang akhir 2017 lalu.
Sayangnya, hingga saat ini, mereka tak juga menerima kabar yang menggembirakan untuk pencairan dana ganti rugi aset tersebut.
Bahkan, warga kini juga tidak tahu nilai asetnya berdasarkan penghitungan appraisal.
Di sisi lain, warga eks WTT kini juga telah hengkang dari areal lahan pembangunan bandara dan rumahnya sudah diratakan tanah oleh alat berat dari proyek tersebut dalam pembersihan lahan.
"AP I tidak berani memberitahukan nilai ganti ruginya tanpa alasan jelas. Kami jadi gelisah. Sudah berbulan-bulan tanpa kejelasan soal appraisal ulang itu," kata seorang warga eks WTT asal Pedukuhan Kragon II, Desa Palihan, Supriyadi, Selasa (20/2/2018).
Kegelisahannya itu bukan tanpa alasan.
Ganti rugi dari tanaman gambas dan budidaya semangka itu sangat berarti baginya jika bisa dicairkan.
Ia tidak lagi memiliki harta dan sumber penghasilan setelah terdepak dari tempat tinggalnya selama ini di Palihan karena terdampak pembangunan bandara.
Dirinya pun kini harus tinggal di rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Triharjo Wates karena tidak punya uang untuk membikin rumah baru.
Pihaknya berharap ganti rugi itu langsung dibayarkan dalam waktu segera.
Seperti halnya pembebasan lahan terdahulu di mana warga terdampak langsung bisa mencairkan dana ganti ruginya.
Warga eks WTT disebutnya sudah cukup bersabar selama ini namun kondisi tanpa kejelasan seperti saat ini benar-benar menyiksa.
Informasi yang didengarnya, ada permintaan dari anggota WTT yang senasib dengannya agar pengurus organisasi itu bergerak lagi untuk menuntut haknya.
Ia menilai, jika diskresi dikabulkan dan pencairan dana dilakukan, nasib dari para eks WTT ini menurutnya bisa menjadi kasus positif yang menguntungkan AP I karena akan menjadi contoh bagi warga lainnya yang masih bertahan menolak.
Yakni, warga dari kelompok Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP).
"Sejauh ini kami bisa sabar, tapi untuk ke depannya tidak tahu. Kami belum lega dan terus digantung. Pertanyaan saya, nasibnya diskresi di kementerian bagaimana? Kalau AP I berharap PWPP-KP menyerah, seharusnya konsisten dulu dengan kami dan appraisal ulang bisa dibayarkan. Mereka (kelompok penolak bandara) pasti juga akan bercermin dari nasib kami," serunya.
Sebelumnya, belasan warga eks WTT pada 12 Februari lalu juga mendatangi Help Desk NYIA untuk mempertanyakan sejumlah hal, termasuk kejelasan atas diskresi penilaian ulang tersebut dan pembayaran ganti ruginya.
Sebagian di antara mereka hingga kini belum mendapatkan sepeserpun kompensasi pembebasan lahan meski rumahnya sudah dirobohkan.
Warga eks WTT lainnya, Andung Sumulyo mengatakan, sebagian besar tanah warga memang dikonsinyasikan dana ganti ruginya lantaran sikap penolakan mereka terdahulu.
Setelah berubah sikap, mereka dengan penuh kerelaan bersedia pindah sekalipun belum menerima surat peringatan (SP) pengosongan lahan.
Namun saat itu warga sudah menjalani proses pengukuran dan penilaian ulang aset tanah, bangunan, tanam tumbuh, dan sarana pendukung lain (SPL) oleh appraisal.
Kini, warga masih menunggu kepastian realisasi janji diskresi (keringanan) atas proses tersebut agar aset non tanahnya bisa dibayarkan ganti ruginya.
"Karena belum menerima ganti rugi dan rumahnya sudah dirobohkan, warga terpaksa mengontrak rumah. Hanya saja, mereka juga tidak lagi memiliki sumber penghasilan dan harus putar otak cari uang untuk bayar kontrakan. Nilai hasil appraisal ulang juga belum diketahui besarannya dan kapan pencairannya saat kami tanyakan. Padahal, itu bisa jadi modal kami untuk bangun rumah lagi," kata dia.(*)