Festival Guyub Murup, Simbol Eksistensi Warga Menolak Bandara
Festival tersebut merupakan bentuk kekuatan kerjasama apik antara warga dan relawan melalui sikap kebersamaan.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Festival Guyub Murup digelar warga penolak pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP) beserta para relawan solidaritas, Minggu (4/2/2018) di Pedukuhan Kragon II, Desa Palihan, Temon.
Tak tanggung-tanggung, festival itu rencananya berlangsung selama sebulan ke depan dengan berbagai agenda.
Di antaranya panggung budaya, workshop, mural, sablon kaos, diskusi, pemutaran film dan pameran seni.
Kegiatan bertajuk 'Suara Tani dari Tapak Pesisir' ini dinyatakan kelompok penolak bandara itu sebagai cara mengabarkan perjuangan penolakan tanpa syarat mereka kepada masyarakat luas.
Mereka ingin menegakkan eksistensi warga dan relawan solidaritas yang tetap bertahan menolak penggusuran dan pembangunan bandara tersebut.
"Ini sebagai simbol perlawanan. Supaya, diketahui masyarakat luas bahwa warga (penolak) punya harga diri dalam mempertahankan tanah airnya dari cengkeraman korporasi maupun pemerintah," kata Koordinator Acara, Restu Baskara.
Menurutnya, rencana pembangunan NYIA dan kota bandaranya (airport city) telah menggusur tanah rakyat karena banyak luasan tanah yang kemudian dirampas untuk memuluskan proyek tersebut.
Akibatnya, banyak warga yang kemudian kehilangan pekerjaan sumber nafkahnya selama ini.
Sekalipun sebagian warga sudah direlokasi, menurutnya, mereka hingga saat ini masih menganggur tanpa pekerjaan sumber penghasilan.
Maka itu, warga terdampak yang tersisa pun hingga kini masih bertahan tinggal di rumahnya masing-masing.
Mereka meyakini bahwa tanah warisan nenek moyang itu tidak akan dijual sampai kapanpun dan akan terus dimanfaatkan untuk bertani dan bercocok tanam.
"Pertanian di sini seharusnya dilestarikan, bukan dilenyapkan. Warga tidak akan melepas haknya karena di sini subur dan sanggup menghidupi. Warga berkomitmen menolak bandara tanpa syarat dan akan konsisten sekalipun ada upaya rayuan dari pihak tertentu," kata Restu.
Dalam festival ini, diterbangkan sejumlah layang-layang tradisional aneka warna dan di antaranya bertuliskan 'Guyup Murup'.
Layang-layang tersebut diterbangkan di bekas lahan pekarangan warga yang sudah diratakan oleh alat berat dari proyek bandara.
Tampak pula sehelai bendera Dwi Warna turut terkerek ke udara.
"Ini melambangkan semangat eksistensi warga dalam berjuang menolak digusur oleh pembangunan bandara. Layang-layang akan tetap bisa melayang sekalipun kena badai. Kami juga akan tetap bertahan hidup di sini dengan cara seperti ini. Bertani, bercocok tanam seperti biasanya. Karena ini hidup kami," kata seorang anggota PWPP-KP, Sofyan.
Festival tersebut menurutnya bentuk kekuatan kerjasama apik antara warga dan relawan melalui sikap kebersamaan.
Namun, semua ketetapan sikap warga adalah pilihan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh siapapun.
"Yang jelas, kami tidak akan melepas apa yang menjadi hak milik kami untuk kepentingan apapun," kata Sofyan.(*)