Kanjeng Ratu Kidul Fakta atau Mitos? Ini Dia Hasil Diskusinya di Pakualaman
Pemilik nama asli Sugeng Wiyono ini menyebut salah satu yang bisa jadi rujukan adalah pitutur leluhur berdasar naluri orang-orang kuno.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pertanyaan Kanjeng Ratu Kidul itu fakta atau mitos, jadi pembicaraan seru pada dialog budaya di Bangsal Kepatihan Pakualaman, Jumat (19/1/2018) malam.
Dialog yang diikuti puluhan pegiat dan peminat sejarah budaya menghadirkan Ki Juru Bangunjiwo, seorang budayawan Jawa serta ahli di bidang perkerisan.
Dialog budaya ini diinisiasi Puro Pakualaman dan merupakan kegiatan rutin setiap bulan. Juru bicara Puro Pakualaman, KPH Kusumoparastro memberi pengantar dialog.
Narasumber Ki Juru Bangunjiwo ketika ditanya Kanjeng Ratu Kidul itu fakta atau mitos? Ada atau tidak? Ia menjawab sosok itu ada menurut keyakinannya.
"Ada, tapi saya sendiri belum pernah melihat sosoknya. Dari sudut pandang budaya Jawa, ada banyak hal yang bisa menjelaskan. Tapi memang tidak mudah tiap orang mempercayainya," kata Ki Juru Bangunjiwo.
Pemilik nama asli Sugeng Wiyono ini menyebut salah satu yang bisa jadi rujukan adalah pitutur leluhur berdasar naluri orang-orang kuno.
"Ini yang agak sulit dan abstrak dipahami. Apalagi oleh orang zaman sekarang," jelasnya.
Dalam pandangan Sugeng Wiyono, cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul merupakan pencapaian atau hasil akhir pencarian spiritual jangka panjang Raja Mataram, terutama Panembahan Senopati.
Dalam kisah-kisah tradisional Jawa, diceritakan Panembahan Senopati ketika mendirikan Keraton Mataram di Alas Mentaok melewati proses spiritual yang tidak mudah.
"Dia melatih hidupnya dalam suasana doa dan mati raga. Beliau melakukan "topo ngeli" di derasnya Kali Opak ditemani gethek atau rakit bambu hingga pantai selatan.
Di sinilah simbolisasi air menjadi unsur sangat penting dalam kehidupan spiritual. Kehidupan Jawa kuno kemudian diwarnai aneka upaya pencarian spiritual berdekatan dengan air.
Misal laku kungkum di tengah malam di tempuran kali atau sumber/mata air tertentu, mandi air bunga dan lain-lain. Lautan sebagai muara dari semua air di bumi, ada dalam konteks simbolisasi kekuasaan.
"Laut pada akhirnya jadi perlambang keutamaan. Laut itu laku utama, dan ini jadi wujud pengabdian hidup Panembahan Senopati bagi manusia," kata Ki Juru Bangunjiwo.
Penjelasan Ki Juru Bangunjiwo secara keseluruhan terasa abstrak dan tidak menukik ke topik diskusi. Ini pula yang kenudian disoal KPH Kusumoparastro.
"Kalau bagi saya, rujukan saya Al Quran. Ada disebut tentang dunia lain, kehidupan jin, yang berdampingan dengan kehidupan manusia," kata Kusumoparastro.
Merujuk ketentuan yang tidak bisa dibantah di Quran itu, dikaitkan dengan kehidupan Keraton Laut Kidul, menurut Kusumoparastro bisa menemukan konteksnya.
"Dunia jin itu ada, di sana tentu ada struktur tertentu seperti juga kehidupan manusia. Ada level penguasa tertinggi dan tingkat-tingkat bawahannya," lanjutnya.
Dari situlah KPH Kusumoparastro meyakini sosok Kanjeng Ratu Kidul itu fakta, bukan mitos. Namun, ia menduga tidak semua orang bisa melihat atau masuk ke wilayah di dunia sebelah itu.
Kusumoparastro selanjutnya mengaitkan keberadaan sosok dan kehidupan di Laut Kidul itu dengan riwayat pembangunan proyek strategis di sepanjang pesisir selatan Yogyakarta.
"Ini menjadi pemikiran saya, mengapa sejumlah proyek strategis besar di sana kok tidak lancar jalannya? Apakah tidak ada komunikasi sebelumnya dengan penguasa Laut Kidul?" kata Kusumoparastro retoris.
Ia juga mengritik sikap dan pandangan Sri Sultan HB X yang akan menjadikan pesisir selatan sebagai halaman depan DIY, namun menyebut Ratu Kidul hanya mitos belaka.
Pria sepuh yang kerap didapuk jadi juru bicara Puro Pakualaman ini mengingatkan agar pemimpin Jawa memiliki pandangan dan sikap yang tidak berbelok dari keyakinan para pendahulunya.
"Jika rujukannya Quran, dan di sana ada tentang dunia jin yang hidup berdampingan dengan manusia, tentu soal Ratu Kidul ini tentu jangan buru-buru mengatakan mitos," pintanya.
"Sebagai warga Puro yang memiliki hubungan dengan wilayah Adikarto, tentu saya prihatin dengan hambatan-hambatan yang terjadi dengan pembangunan di sana," tandasnya.
Sejumlah peserta dialog budaya turut menyampaikan pendapatnya pada diskusi ini. Ada yang menceritakan pengalaman anak dan kerabatnya yang pernah melihat sosok Kanjeng Ratu Laut Kidul di lepas pantai Parangtritis.
Sosok itu dicitrakan perempuan dewasa cantik, berkebaya hijau lengka dengan selendang dan mahkotanya, muncul di antara debur ombak lepas pantai Parangkusumo.
Citra ini sepertinya selaras dengan sosok penguasa Laut Selatan yang divisualkan dalam sejumlah lukisan foto dan film yang sudah pernah diproduksi. (*)