Psikolog UGM : Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Seperti Gunung Es

Cara pendampingan korban sodomi adalah dengan membantunya mengobati rasa sakit baik fisik maupun psikis.

Penulis: Santo Ari | Editor: Gaya Lufityanti
Tribun Jogja/ Suluh Pamungkas
Ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Belum lama ini di Yogyakarta terdapat penangkapan atas dua kasus pelecehan seksual modus sodomi.

Satreskrim Polresta Yogyakarta menangkap Ahmad Junaidi (22) warga Sumatera Utara, sementara Polda Kalimantan Timur bekerjasama dengan Polda DIY menangkap seorang fasilitator organisasi anak di Kalimantan Timur yang juga melakukan kejahatan yang sama.

Berdasarkan Pusat data dan informasi, Komisi Nasional Perlindungan anak Indonesia, dari tahun 2010 sampai 2014 ada ribuan kasus pelanggaran hak anak.

Tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupatan / kota, sekitar 42 persen hingga 58 persen di antaranya merupakan pelanggaran kejahatan seksual terhadap anak.

Data itu menggambarkan betapa banyaknya jumlah kasus tindak asusila dengan anak-anak sebagai korbannya.

bahkan hasil pemantauan KPAI, rata-rata ada sekitar 45 anak mengalami kekerasan seksual tiap bulannya.

Namun demikian Pakar Psikologi UGM Prof Koentjoro mengatakan, bahwa angka itu seperti gunung es atau hanya terlihat di permukaan saja.

Ia menyebutkan bahwa masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual di luar sana yang tidak melapor baik ke kepolisian atau komisi perlindungan anak.

Hal itu lantaran, bahwa kasus kekerasan seksual oleh masyarakat dianggap sebagai aib, dan akhirnya pihak keluarga tidak melaporkan kejadian itu.

Dalam kasus yang ditangani Polrestas Yogyakarta, tersangka mengaku ketika masih anak-anak pernah menjadi korban sodomi di tempat tinggalnya.

Akibatnya kini, ketika melihat anak kecil timbul hasrat untuk menyodominya.

Koentjoro mengatakan bahwa kemungkinan korban sodomi ketika dewasa berpotensi menjadi pelaku sangatlah memungkinkan.

Terlebih bila saat itu yang bersangkutan mengalami sodomi di umur menginjak remaja antara 11 sampai 12 tahun.

"Di umur tersebut, anak sudah timbul hasrat seksual. Di samping mengalami kesakitan, ia juga akan mengalami sensasi kenikmatan. Apalagi ia mengalaminya berulangkali. Rasa kenikmatan itu yang akhirnya jadi kebutuhan," terangnya.

Ia memaparkan, biasanya pelaku adalah berasal dari orang terdekat yang dikenalnya.

Pelaku sodomi biasanya mencari anak yang jarang bercerita, murung dan kurang kasih sayang.

Pelaku sodomi lebih takut dengan anak yang ceria dan suka menceritakan apapun kepada keluarga, karena kejadian apapun akan segera terbongkar melalui penuturan anak yang gemar becerita.

Dalam kesempatan itu, Koentjoro juga menganjurkan, cara pendampingan korban sodomi adalah dengan membantunya mengobati rasa sakit baik fisik maupun psikis.

Secara psikis, keluarga memiliki peranan penting, perlu memberikan dukungan yang besar kepada anak.

Keluarga harus membantu anak melupakan kejadian buruk tersebut.

"Selain konseling, pendidikan agama juga harus diperkuat," imbuhnya.

Pendekatan agama disebut bisa membentengi anak agar nantinya tidak terlibat dan menjadi pelaku sodomi di kemudian hari.

Jika anak sudah sadar dan mampu menyerap pemahaman bahwa sodomi adalah perilaku yang menyimpang, maka untuk memulihkan kondosisi sosialnya lebih bagus jika dia ditempatkan di lingkungan baru.

Misalnya pindah rumah dengan lingkungan baru yang dirasa lebih aman bagi anak.

"Upaya yang bisa dilakukan untuk menghindarkan anak-anak kita menjadi korban sodomi adalah dengan memberikan perhatian dan kasih sayang," tambahnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved