Soal Polemik Perlintasan Janti, Kebijakan Jangan Digeneralisasir
Biaya produksi juga bisa semakin mahal karena harus memutar dengan jarak yang lebih jauh.
Penulis: dnh | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Adanya penutupan jalan atau perlintasan kereta api seperti di Janti, tentu menimbulkan dampak baik ekonomi maupun sosial.
Terkait hal ini anggota Parampara Praja yang juga Rektor Universitas Widya Mataram, Edy Suandi Hamid berpendapat kebijakan sebelum diambil harus berdasarkan survei terlebih dahulu.
Ditemui di Komplek Kepatihan, Selasa (7/11/2017) Edy berpendapat, penutupan perlintasan bisa membuat mobilitas terganggu.
"Ya apapun adanya penutupan seperti itu mobilitas lalu lintas barang jasa terganggu bisa menyebabkan harga naik dan pasokan berkurang, tapi relatif kecil," katanya.
Selain itu, biaya produksi juga bisa semakin mahal karena harus memutar dengan jarak yang lebih jauh.
Menurutnya kebijakan penutupan perlintasan ini pasti memiliki dampak lain, yakni dari sisi keselamatan adalah untuk meminimalkan kecelakaan dan sebagainya.
Baca: Perlintasan Janti Ditutup, Dishub DIY Khawatirkan Munculnya Ini
"Satu kebijakan itu kadang kadang ada trade off ada untung ada ruginya," katanya.
Sementara itu diketahui, penutupan perlintasan sebidang ini tidak hanya di DIY saja namun juga di daerah lain.
Untuk DIY sebenarnya ada tiga perlintasan yang akan diuji coba untuk ditutup, selain Janti ada Lempuyangan dan Sentolo, namun baru Janti yang diuji coba dan menimbulkan polemik.
Terkait kebijakan ini adalah kebijakan pemerintah pusat, Edy melihat kebijakan diambil harus dengan dasar yang baik seperti survei dan tidak serta merta dilakukan. Serta disamaratakan di setiap daerah.
"Itu suatu kebijakan mau diambil harus dilakukan survey dulu betul, jangan serta merta, kita hitung, cost benefit dan eksternal diss ekonomisnya, jadi sosial costnya berapa,jangan hanya dilihat satu sisi, jadi bagi masyarakat secara keseluruhan," kata pakar Ekonomi ini.
"Jadi memang tidak bisa kebijakan itu generalisasi. Indonesia sangat luas beragam sehingga harus melihat management by culture harus melihat kondisi daerah," tutupnya.(TRIBUNJOGJA.COM)