Lipsus Senjakala Ketoprak Tobong

Ketoprak Tobong, Lestari atau Mati di Yogyakarta

Malam itu, ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya akan menggelar pertunjukan. Segala persiapan dilakukan untuk menyambut penonton.

Penulis: dnh | Editor: oda

Pentas Rutin

Jam menunjukan hampir pukul 20.00, Jumat pekan kedua Februari 2017, deretan kursi di depan panggung di tobong Kelana Bhakti Budaya masih kosong, hanya sebagian kecil yang terisi.

Para pemain sudah bersiap di belakang panggung dengan dandanan dan pakaian sesuai dengan karakternya.

“Banyak atau sedikit yang nonton, kami tetap main,” kata Dwi Tartiyasa saat itu. Malam itu lakon yang akan dimainkan adalah Seboyo Urip Seboyo Pati.

Persiapan Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya di dusun Brayut, Wukir Sari, Sleman, Jumat pekan kedua Februari 2017. Bisa disebut ketoprak tobong ini adalah satu satunya yang tersisa dan masih pentas rutin setiap minggunya, yakni pada Jumat malam.
Persiapan Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya di dusun Brayut, Wukir Sari, Sleman, Jumat pekan kedua Februari 2017. Bisa disebut ketoprak tobong ini adalah satu satunya yang tersisa dan masih pentas rutin setiap minggunya, yakni pada Jumat malam. (tribunjogja/dwi nourma handito)

Malam itu, tobong tidak didatangi oleh banyak penonton, jika dibandingkan pemain dan pendukung acara, penonton yang datang jauh lebih sedikit.

Tiga diantara penonton yang datang adalah warga negara asing atau WNA.

Sedikitnya penonton adalah salah satu faktor utama penyebab kenapa ketoprak tobong kini berada di tubir senja, meski dulu memiliki masa kejayaan.

Dwi mengatakan bahwa saat di Bayen, Kalasan selama empat tahun penonton di sana cukup bagus, dan tidak diikuti dengan tempat yang saat ini.

Selain itu saat ini tobongnya tidak berpindah lagi, seperti idealnya kethoprak tobong , karena kendala finansial.

Untuk mengandalkan pemasukan dari tiket penonton pun rasanya sulit dan tidak dapat menutupi biaya operasional, karena penonton tak lagi memenuhi kursi kursi di depan panggung tobong Kelana Bhakti Budaya.

Bahkan untuk menutupi semua pemasukan, menurut Dwi itu tertolong oleh bantuan donatur.

“Jaman jaya-jayanya, seperti ketoprak Ringin Dahono, Siswo Budoyo dan lain lain itu tiga bulan (sekali) pindah. Tapi tampaknya masa kejayaan ketoprak tobong sudah berlalu, dan kini tinggal mempertahankan yang ada, “ katanya.

Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya pernah menggelar pamit mati di Alun-alun kidul Keraton Yogyakarta.

Menurut Dwi itu dilakukan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk tetap survive. Dan diharapkan mendapat perhatian dari pihak terkait.

Berkat pamit mati itu pula, ada donatur yang kini menyediakan tempat untuk Kelana Bhakti Budaya hingga saat ini.

Ditanya apakah ketoprak tobongnya akan berpindah lagi, Dwi mengisyaratkan itu tidak akan terjadi lagi, terlebih semakin sulit untuk mendapatkan lahan dan biaya operasional yang tinggi.

Namun ia tetap akan berusaha mempertahankan keberadaan kethoprak tobongnya meski tidak menghasilkan secara finansial.

Ia percaya ketoprak tobong yang merupakan budaya daerah meski sedikit peminatnya akan kembali digemari suatu saat nanti.

Untuk itu tobong dicoba untuk diperbaiki, diberi lighting dan juga dalam mengemas penampilannya dengan lebih menarik.

Selain juga dengan membuat jadwal rutin pentas tiap Jumat malam dengan waktu pertunjukan mulai pukul 20.00 malam sehingga penonton dapat kembali membanjir seperti dulu.

“Harapan saya kalau hidup berkembang itu di Yogyakarta, oleh karena Yogyakartalah kota budaya, tetapi andaikata mau mati bersama dengan ketoprak tobong yang lain, biarlah Yogyakarta menjadi kuburan daripada ketoprak kami, ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya,” ujarnya.

“Tetapi itu tidak kami harapkan dan meminta dukungan pada semua pihak supaya ini bisa eksis berkembang dan berjalan dengan baik," lanjutnya. (*)

Halaman
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved