Aksi Damai di PTUN Warnai Persiapan Sidang Gugatan ABY Soal UMK
Akan tetapi, angka tersebut dinilai masih rendah dan tidak dapat mensejahterakan ribuan buruh yang ada di Yogyakarta.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: oda
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta menggelar aksi damai di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, Gedongkuning, Banguntapan, Bantul, Senin (30/1/2017).
Dalam aksinya mereka mendukung gugatan Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) terhadap Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait dengan pencabutan Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 235/KEP/2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Empat orang yang mengenakan topeng hewan berupa kuda, monyet, sapi, dan kambing nampak kebingungan.
Mereka menyuarakan kehidupan yang susah karena gaji mereka tak layak untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Mereka kemudian mengadukan persoalan ini pada Gubernur yang juga diperankan oleh anggota FPPI.
Namun, hingga kini aduan mereka belum bersambut, sehingga mereka terus melakukan gugatan pada persoalan gaji ini.
Usai menggelar drama teatrikal, sejumlah pemuda ini kemudian meneriakkan yel-yel buruh, menyanyikan lagu kebangsaan dan juga puisi.
Mereka juga membawa poster bertuliskan “Menggugat Gubernur Untuk Mencabut SK Nomor 235 tahun 2016. Mendidik Rakyat Dengan Pergerakan Mendidik Penguasa Dengan Perlawanan-Rakyat Kuasa-“, “Cabut PP 78 Dan Naikkan Upah Buruh”, “Buruh Yogya Menolak Upah Murah”, dan tulisan lainnya.
“Ini adalah ungkapan dari FPPI yang tak lain adalah para mahasiswa yang berasal dari UMY, UIN, dan UPN. Mereka ikut mendukung gugatan ABY,” ujar Wakil Sekretaris Jendral ABY, Irsyad Ade Irawan, di sela-sela aksi damai ini.
Menurutnya, ungkapan dari para pemuda untuk menampilkan aksi teatrikal dengan empat manusia bertopeng hewan ini adalah sebuah satire.
UMK yang ditetapkan ini, tidak mencerminkan sebuah rasa kemanusiaan. Justru, buruh hanya dianggap sebagai hewan.
“Padahal, manusia juga perlu untuk kebutuhan lainnya, seperti sandang dan papan. Nah, kalau hanya cukup untuk makan kami masih dianggap sebagai hewan,” ulasnya.
