Lomba Jemparingan Meriahkan Tradisi Saparan Jatinom
Para pria tampak mengenakan surjan lengkap dengan ikat kepala berupa udeng dan blangkon
Penulis: ang | Editor: Ikrob Didik Irawan
Laporan reporter Tribun Jogja, Angga Purnama
TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Terik matahari yang mulai meninggi seolah tak dipedulikan puluhan orang, pria dan wanita, duduk bersila di tengah lapangan Desa Bonyokan, Kecamatan Jatinom, Rabu (16/11/2016).
Sembari mengenakan busana tradisional Jawa, raut muka terpancar dari tatapan puluhan pasang mata orang-orang yang dengan sabar bersila di bawa sengatan matahari.
Para pria tampak mengenakan surjan lengkap dengan ikat kepala berupa udeng dan blangkon, sedangkan yang wanita mengenakan kebaya lengkap dengan jaritnya.
Bukan hendak mendalang maupun menyinden, meski mereka mengenakan busana Jawa yang biasanya digunakan pada pementasan kesenian trasional.
Namun di pagi menjelang siang itu, mereka tengah berkonsentrasi membidikkan anak panah dengan busurnya ke sasaran yang berjarak 30 meter dari tempatnya duduk bersila dalam lomba panahan tradisional atau jemparingan gaya Mataraman.
Termasuk Riyadi, warga Desa Bonyokan yang turut serta dalam kegiatan yang digelar untuk memeriahkan acara Yaqowiyyu yang digelar setiap Bulan Sapar dalam kalender Jawa.
Pria 58 tahun itu harus bersaing dengan atlet jemparingan yang usianya yang lebih muda darinya.
“Untuk memeriahkan saja, sambil mengasah skill dan menyalurkan hobi,” katanya.
Jemparingan memang menjadi hobinya sejak masih aktif di satuan kepolisian dulu. Ia mengaku menekuni hobi ini sejak tahun 1991.
Menurutnya, panahan gaya Mataraman merupakan olahraga panahan tradisional.
Bahkan, tingkat kesulitannya lebih sulit dibanding panahan modern yang dilengkapi dengan peralatan yang memadai.
“Sebenarnya panahan tradisional lebih sulit dari pada panahan modern. Sebab alatnya masih sederhana dan tidak ada patokan pasti untuk membidik sasaran. Yang penting bagi saya konsentrasi ke target sasaran,” ungkapnya.
Olahraga ini, kata Riyadi, mampu membawa ketenangan bagi dirinya.
Pasalnya dibutuhkan ketenangan saat membidik sasaran.
Lomba jemparingan ini juga menguji kesabaran karena harus duduk bersama dengan orang banyak untuk bersaing mencapai sasaran.
“Kalau tidak tenang pasti jalannya anak panah melenceng dari arah yang dibidik. Sehingga menjadi pemahan harus sabar dan tenang agar mencapai konsenterasi,” ujarnya.
Ketua panitia, Ahmad Nawawi mengatakan perlombaan panahan tradisional Sismadi Cup ini sudah digelar ke-16 kalinya.
Sebanyak 130 peserta mengikuti uji tanding dalam lomba panahan tradisional gaya mataraman tahun ini.
“Peserta berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Lampung, Banten, Kalimanta Selatan dan Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan DIY. Para peserta diharuskan mengenakan pakaian tradisonal gaya mataraman,” katanya. (Tribunjogja.com)