Tak Menyerah Meski Sebatang Kara, Siswa Tunanetra di Bantul Ini Terus Ukir Prestasi Membanggakan
Meski menjadi tuna netra, dia tak lantas membutakan hati untuk tetap berbuat baik dan mengejar cita-cita.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Slamet bertahun-tahun melawan sunyinya hidup tanpa nasehat dan bimbingan orangtua. Dia berjuang melawan kepahitan, dan membuahkan hasil manis berupa prestasi nasional yang menghantarkannya menjadi orang yang berguna.
Meski menjadi tuna netra, dia tak lantas membutakan hati untuk tetap berbuat baik dan mengejar cita-cita.
Tangan Slamet nampak sigap mengayunkan tongkat sembari berjalan menuju kelasnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2 Sewon ini.
Meski menjadi penyandang disabilitas, Slamet tetap tersenyum seolah bisa melihat orang di sekitarnya menyapanya dengan hangat. Dia juga tidak merasa minder dengan keterbatasannya.
Pemuda berusia 18 tahun itu, ternyata seorang atlit tenis meja nasional. Dia memenangi beberapa kejuaraan bertaraf nasional dan menyabet juara pertama.
Bahkan, prestasi ini menorehkan namanya menjadi seseorang yang layak diperhitungkan meskipun hanya hidup sebatang kara.
Slamet yang berasal dari Muntilan, Kabupaten Magelang ini, kini hidup sendiri di kos-kosannya yang berada di kawasan Prancak, Sewon, Bantul.
Tak ada canda tawa dan juga nasehat dari orang tua yang diterimanya setiap hari. Bat dan bola pingpong menjadi teman penghibur di kala sepi, selain itu, buku-buku sastra karya penulis luar negeri pun dilahap habis untuk menemani harinya.
“Meski hidup sendiri, saya tidak menyerah. Justru ini ujian dan cobaan bagi saya untuk tetap berprestasi,” ujar Slamet memotivasi semua orang untuk tetap mensyukuri hidup dalam semua kondisi.
Olahraga tenis meja memang menjadi salah satu kegemaran Slamet. Berkat berlatih dengan sungguh-sungguh dan tekun, dia bisa menjuarai beberapa perlombaan seperti juara I nasional tenis meja di Jakarta tahun 2013, selain itu juga menjadi juara I di Bandung, dan juara II di kejuaraan nasional di Solo tahun 2015.
Pertandingan itu merupakan pekan pelajar tingkat nasional khusus untuk anak berkebutuhan khusus.
“Saya juga ikut Paragames Asia yang akan diselenggarakan di Bandung bulan Oktober mendatang,” ujarnya.
Hasil dari kejuaraan ini, menurutnya, bisa dipergunakan untuk menyambung hidupnya. Selain itu, dia berharap bisa membantu keluarganya dengan tabungannya dari hasil olahraga tenis meja.
Selain itu, dia berharap dengan prestasinya itu, akan membuatnya terus hidup dan menuntut ilmu hingga perguruan tinggi, meski ditinggalkan dua orangtuanya.
Sebatang Kara
Kehidupan Slamet sempat diwarnai kesedihan selama beberapa waktu lalu. Kepahitan inilah yang justru memupuk semangatnya untuk berjuang dan hidup dengan lebih maju. Peristiwa tersebut terjadi pada 2013 lalu.
Kala itu Slamet yang terbiasa berkomunikasi dengan orangtuanya yaitu Suhardi dan Asminah lewat SMS mendadak tidak pernah dihubungi lagi oleh orangtuanya.
Slamet saat itu masih tinggal di asrama Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogya, memutuskan untuk pulang ke Muntilan karena sudah lama tidak mendapat kabar dari orangtuanya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini akhirnya memutuskan untuk menengok kondisi rumahnya di Dusun Karangsari, Prumpung, Muntilan.
“Tetapi saya tidak menjumpai keluarga saya. Rumah sudah nggak ada orang lagi. Entah kemana, nggak ada yang tahu. Yang punya kontrakan bilang perginya diam-diam, dia juga tidak tahu," katanya.
Rasa pahit bercampur sedih mendera hatinya. Namun, dia tetap memilih untuk tegar dan berusaha mencari jalan keluar. Dia pun memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Dia akhirnya menggunakan uang dari hasil kejuaraannya untuk membiayai hidupnya.
Keinginan sekolahnya begitu kuat, sehingga, akhirnya dia bersekolah di SMP 2 Sewon. Karena keterbatasan dana, dia sempat tinggal di salah satu ruang di sekolahnya itu. Bahkan, guru-gurunya pun sempat patungan untuk membiayai hidupnya dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Di balik kepahitan hidupnya, Slamet berusaha memaknai kesuksesan hidup dengan mata hatinya. Dia tak ingin tenggelam dalam kesuksesan duniawi yang hanya mengejar materi saja. Namun, lebih dari itu, dia ingin belajar untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan.
“Bagi saya, pengalaman hidup ini adalah sebuah hal yang istimewa. Saya berupaya untuk tetap bisa berdiri tegak dan menuliskan cerita kehidupan ini. “ katanya.
Edi Priyanto, salah satu difabel yang juga kawan Slamet menganggap Edi sebagai sosok yang sangat berjuang. Dia kerap mengobrol berbagi suka dan duka dengan Slamet dalam segala hal. Menurutnya, semangat hidup Slamet kerap menjadi teladan baginya.
“Saya senang cerita dengan Slamet. Dia memang sosok yang tangguh,” ulasnya. (Tribunjogja.com)