Mengenal Sosok Akhmad Makhfat, Sang Kolektor Komik Lokal dari Yogya

Kesukaannya pada komik dan cerita-cerita bergambar tentunya dimulai sejak kecil, sewaktu ia mulai belajar membaca.

Penulis: rap | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Riezkhy Andhika Pradana
Dr Akhmad Makhfat 

TRIBUNJOGJA.COM - Kegemaran dan kecintaannya pada dunia komik, membuat pria bernama Dr Akhmad Makhfat akhirnya menjadi seorang kolektor.

Kesukaannya pada komik dan cerita-cerita bergambar tentunya dimulai sejak kecil, sewaktu ia mulai belajar membaca.

Pada awal era 70-an ia sudah melahap karya-karya komikus legendaries Hasmi. Komik kesukannya saat itu ialah Gundala; ‘Bentrok Jago-Jago Dunia’.

Meski beberapa kali dibelikan komik oleh orangtuanya, namun pria kelahiran Batang, 1963 ini lebih rutin membaca komik di tempat persewaan yang marak di era itu.

Ketika duduk dibangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Akhmad mulai membeli sendiri komik-komik kesukaannya.

Selain menyukai komik-komik superhero lokal seperti Gundala Putra Petir, Godam, dan sejenisnya, ia juga sangat menggemari komik luar negeri terbitan DC, Marvel, dan sebagainya. Perlahan koleksi komiknya mulai membengkak, terutama ketika pria yang berprofesi sebagai dosen di FEB UGM ini mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri, tepatnya di Kanada.

Di sana hobinya pada komik-komik superhero Amerika tidak terbendung lagi, semua yang berbau komik, selama masih terjangkau, diborongnya.

Namun amat disayangkan, ketika ia merenovasi rumah, banyak komiknya yang tidak terselamatkan, entah rusak karena usia, juga habis termakan rayap.

Maka sejak tahun 1998, dengan kesadaran penuh, Akhmad memulai kembali hobinya mengoleksi komik.

Namun kali ini yang dikoleksinya ialah komik-komik lokal. Menurutnya banyak sekali komik Indonesia yang layak di apresiasi. Di antara koleksi utamanya ialah komik terbitan akhir 60-an dan awal 70-an, seperti karya para maestro; Hasmi, Wid NS, Djair Warni, Ganes TH yang menurutnya merupakan empat komikus penting di Indonesia.

Saat itulah, menurut Akhmad, merupakan puncak kejayaan komik nasional. Di era tersebut komik lokal bergenre roman, silat, dan sebagainya digandrungi oleh masyarakat.

Menurut Akhmad pada era 80-an meskipun komik dua panel mulai menghilang, namun komik Indonesia tidak pernah mati.

Pria tiga anak ini pun berburu komik di berbagai daerah, mulai dari para kolektor, komikus, hingga pasar buku bekas. Tak jarang seseorang menawarkan komik kepada Akhmad untuk menambah dan melengkapi koleksinya.

Namun sebuah tragedi terjadi ketika komik yang dipesannya lewat paket hancur di pesawat yang tergelincir di landasan Bandara Adisucipto.

Peristiwa tersebut terjadi pada 7 Maret 2007, ketika Pesawat Garuda Indonesia Penerbangan GA-200 yang terbang dari Jakarta tergelincir ketika sesaat lagi mendarat. Kecelakaan pesawat itu berakibat fatal. Sebanyak 22 orang.

Sementara 112 lainnya beruntung selamat. Termasuk dalam daftar yang tewas adalah Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada.

Di antara beragam koleksi, yang paling dikagumi Akhmad ialah artwork karya komikus asli. Selain karena barang tersebut langka, dan tidak mungkin ada ‘copy’-nya, memiliki artwork asli karya komikus idola adalah sebuah kebangaan tersendiri.

Saat ini ia memiliki artwork lengkap sebanyak 11 judul, sedangkan beberapa artwok lainnya tidak lengkap edisinya.

Hingga saat ini Akhmad mengaku masih mengikuti perkembangan komik dan animasi yang beredar. Menurutnya perkembangan komik yang merambah lewat persebaran digital ialah hal yang lumrah.

“Kita tidak bisa menolak perkembangan teknologi, tapi tetap bagi saya kesenangan membaca komik ialah versi cetak yang bisa dibawa kemana-mana,” ujarnya.

Komik Indonesia yang baik menurutnya adalah yang orisinal. Selain kualitas gambar yang bagus, hal lainnya yang terbaik adalah unsur syair yang ada di dalamnya. Akhmad memberikan contoh idealnya seperti cerita Jaka Sembung.

Komikus Djair Warni melahirkan Jaka Sembung tahun 1968. Jaka Sembung ialah pendekar yang diciptakan sangat membumi.

Selain hidup layaknya masyarakat biasa, nama-nama tempat yang ada di dalam cerita Jaka Sembung benar-benar ada.

“Jadi karya dan cerita di komik itu bisa menjadi mitos sendiri di masyarakat,” katanya.

Kini ia kegelisahan Akhmad pada komikus yang muncul pada generasi sekarang ialah pada lemahnya skenario cerita.

“Mungkin komikus sekarang masih kurang risetnya sebelum membuat cerita,” ujarnya.

Selain itu banyak komikus yang tidak memperhatikan kualitas cetakan, kebanyakan masih ala kadarnya. Selain memiliki enam peti koleksi komik yang di simpan di rumahnya, ribuan koleksi lainnya di simpan khusus di sebuah rumah dekat tempat tinggalnya.

Di rumah tersebut Akhmad Makhfat sedang bermimpi membangun sendiri perpustakaan komik yang ia beri nama ‘Rumah Komik Minomartani’.

Rencananya menurut Akhmad, perpustakaan tersebut bisa segera diakses oleh publik secara gratis. Menurutnya saat ini sudah tidak ada lagi tempat persewaan komik, dan perlunya mengenalkan kepada generasi sekarang pada karya-karya komik lokal tempo dulu. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved