Tari Bedhaya Tirta Hayuningrat saat Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X
Sembilan penari yang merupakan empat puteri Sultan dan lima Sentono Dalem atau kerabat dekat, masuk ke Bangsal Kencono.
Penulis: mrf | Editor: oda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Semalam, Keraton Yogyakarta memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Bangsal Kencono. K
Kegiatan yang merupakan perayaan naiknya Sri Sultan HB X sebagai Raja Keraton Yogyakarta pada tahun ini lebih spesial, sebab sekaligus merayakan usia Sri Sultan HB X yang ke-70.
Dimulai dari tambur dan terompet yang dimainkan, sembilan penari yang merupakan empat puteri Sultan dan lima Sentono Dalem atau kerabat dekat, masuk ke Bangsal Kencono.
Adapun penari berjumlah sembilan orang melambangkan sembilan arah angin, dan dipercaya merupakan angka sakral.
Dalam Tingalan Jumenengan Dalem ini, empat puteri dari Sri Sultan HB X sempat mementaskan tari Bedhaya Tirta Hayuningrat sebelum acara ramah tamah dan makan malam.
Empat puteri Sultan yang menari yaitu GKR Mangkubumi, GKR Condrokirono, GKR Hayu, dan GKR Bendoro.
Tari Bedhaya Tirta Hayuningrat sendiri merupakan ciptaan Raja Keraton Yogyakarta untuk menghibur 500 tamu undangan pada Tingalan Jumenengan Dalem.
Di Tingalam Jumenengan Dalem pada tahun sebelumnya, tak ada persembahan Tari Bedhaya Tirta Hayuningrat ke tamu undangan.
“Tarian Bedhaya Tirta Hayuningrat menceritakan tentang lenggahing Harjuna. Penari Bedhaya diiringi dengan gendhing ketawang merupakan inti dari tarian,” ujar KRT Pujaningrat seperti dikutip dari akun periscope @Kratonjogja, Sabtu (7/5).
Rangkaian Tingalan Dalem
Penghageng Tepas Thandayekti Keraton Yogyakarta, GKR Hayu menjelaskan sebelum tingalan dalem dilaksanakan, pihaknya terlebih dulu melakukan upacara Ngebluk pada Kamis (5/5/2016).
Upacara Ngebluk sendiri merupakan prosesi pembuatan bahan untuk upacara Ngapem.
“Upacara Ngebluk adalah rangkaian kegiatan awal dari Tingalam Jumenengan Dalem. Acara dimulai sejak pukul 09.00 WIB,” ujar Hayu.
Pada upacara yang dipimpin Garwa Dalem Keraton Yogyakarta, GKR Hemas, menurut Hayu terdapat dua jenis adonan atau jladren yang dibuat.
Adapun dua adonan tersebut yakni adonan apem mustaka dan jladren alit yang menghabiskan 225 kilogram tepung beras.
Dia menambahkan, bahan lain untuk membuat adonan apem yaitu gula jawa, gula pasir yang telah dicairkan, dan tape ketela yang telah dihaluskan.
Ke empat bahan tersebut pada saat itu dituangkan oleh KGR Hemas ke dalam satu wadah, kemudian abdi dalem keparak mengaduknya.
“Setelah adonan tercampur rata, kemudian adonan dituangkan ke dalam enceh atau wadah besar. Adonan apem ditempatkan di enceh, didiamkan semalaman sampai adonan mengembang,” jelasnya.
Lalu keesokan harinya, Jumat (6/5/2016), lanjut Hayu, Garwa Dalem, Puteri Dalem, dan dihadiri Sentono Dalem melakukan upacara Ngapem di Bangsal Keputren.
Adonan yang sebelumnya berada di dalam enceh, dimasukkan ke dalam cetakan yang di bawahnya terdapat tungku arang.
Panghageng Tepas Dwarapura Kraton, KRT Jatiningrat mengungkapkan, apem berasal dari afwun yang berarti permohonan ampunan dan keselamatan.
Dalam upacara adat jawa, apem lazim ada karena merupakan simbol permohonan ampunan dan keselamatan. (tribunjogja.com)