Sanggar Seni Kinanti Sekar, Tempat Asyik untuk Belajar Bahasa dan Aksara Jawa
Masyarakat juga banyak milirik kelas baca tulis aksara Jawa yang dibuka oleh sanggar yang beralamat di rumah Kelas Pagi Yogyakarta, Prawirodirjan
Penulis: Santo Ari | Editor: Ikrob Didik Irawan
Laporan Reporter Tribun Jogja, Santo Ari
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Indonesia yang kaya akan tradisi tak lepas dari sejarah di mana tradisi itu berada dan berkembang.
Sanggar Seni Kinanti Sekar yang memiliki basis budaya dan tradisi Yogyakarta merasa perlu untuk melestarikan sejarah dalam bahasa tutur dan tulisan yang dikenal dengan aksara Jawa.
Di ranah pendidikan memang sudah ada pelajaran muatan lokal, namun hal itu dirasa kurang lantaran waktu pembelajaran yang sedikit.
Kinanti Sekar Rahina, seniman tari penggagas sanggar Kinanti Sekar mengatakan bahwa tari, tembang, dan bahasa saling terkait.
Dalam tari klasik Yogyakarta, sang penari haruslah paham bahasa Jawa karena suatu ketika ia akan dihadapkan jenis tarian yang mengharuskan penari untuk berbanyi dalam bahasa Jawa atau nembang.
Selain itu, kesenian tradisi yang saat ini banyak dilirik tentu tak lepas dari praktisi dan literasi naskah-naskah kuno yang dikemas dalam bahasa dan tulisan lokal.
Kitab-kitab atau naskah kuno tentang tarian klasik kebanyakan dibuat dengan bahasa Jawa dan ada banyak yang belum diterjemahkan.
Maka dari itu, pelaku seni haruslah dapat menggali lebih dalam hingga ke bahasa dan sastranya agar seni yang ia pelajari tidak timpang.
"Selain itu, mengapa kami membuka kelas baca tulis aksara Jawa adalah satu sisi kita hidup di Jawa. Tapi pelajaran yang diterima anak-anak di sekolah terbilang sedikit, jadi bahasa dan tulisan Jawa kalah populer dengan bahasa asing. Dan media di Indonesia muatan lokalnya kurang, mereka lebih senang dengan asing seperti Korea misalnya," papar perempuan jebolan jurusan tari Institut Seni Indonesia ini.
Aksara Jawa
Kini selain minat ke kelas tari dan tembang, masyarakat juga banyak milirik kelas baca tulis aksara Jawa yang dibuka oleh sanggar yang beralamat di rumah Kelas Pagi Yogyakarta, Prawirodirjan, Gondomanan ini.
Yang mendaftarpun tak hanya dari kalangan anak sekolahan, tapi ada juga para orang dewasa yang merasa perlu belajar budaya Jawa lebih dalam.
Bagas Arga dari Tim Manajemen Sanggar Seni Kinanti Sekar memaparkan di sanggar ini lebih mengutamakan kekeluargaan dan bukan hubungan guru murid.
Untuk itu metode yang digunakan adalah metode inkuiri atau metode belajar yang mengajak peserta ikut berpartisipasi dalam proses belajar.
Selain itu, metode lain yang diterapkan adalah penerapan metode kentekstual di mana metode belajar yang digunakan untuk mendekatkan diri peserta pada lingkungan sekitarnya sehingga peserta lebih peka dengan apa yang terjadi di kehidupan sekitarnya.
"Kami mengenal mereka dengan sedulur sanggar. Diharapkan semakin banyak teman-teman yang semakin mencintai budaya sendiri," papar Bagas.
Dalam kelas ini, para peserta berkumpul dalam satu bangunan limasan yang kecil dan duduk sejajar dengan pengajarnya.
Suasana terlihat santai dengan diselingi canda tawa, namun tetap berhubungan dengan apa yang mereka pelajari. Mereka diajarkan bagaimana berbicara dengan bahasa Jawa yang baik dan benar.
Adapun bahasa Jawa dikenal dengan tingkatannya, ada bahasa ngoko, ngoko alus untuk kehidupan sehari-hari, ada pula bahasa krama dan krama alus untuk diucapkan ke orang yang dihormati atau lebih tua.
Sedangkan aksara Jawa yang diajarkan adalah aksara hanacaraka, beserta sandangannyannya seperti wulu untuk huruf dengan pengucapan i, taling tarung untuk pengucapan u, layar untuk akhiran r dan lain sebagainya.
Selain itu untuk tingkatan lebih tinggi peserta juga akan diajarkan aksara rekanan untuk menulis huruf dari ejaan luar seperti huruf f, v dan z.
Andi Wicaksono, pengampu kelas baca tulis aksara Jawa menekankan bahwa generasi muda akan terombang-ambing dan hilang arah kalau tidak tahu identitas di mana ia berasal.
"Karena ini menyangkut sejarah. Percuma negara maju, kalau tidak tahu adiluhungnya. Jendela pengetahuan dan kunci sejarah ya terletak di bahasa dan sastranya," ungkap pria lulusan pasca sarjana ISI Yogyakarta ini.
Dalam kelas yang dibuka dua hari dalam seminggu ini, peserta akan dihadapkan dalam suasana yang santai.
Karena tidak semua peserta sanggar bukan asli Yogyakarta, maka penyampaiannyannya pelajarannya dengan menggunakan bahasa Jawa dicampur bahasa Indonesia.
"Selain itu akan diselingi game, atau humor, supaya mereka tidak bosan, misalnya dengan sistem menghafal aksara Jawa dengan kartu. Selama ini juga ketika ada tugas dari sekolah, teman-taman bisa membawa tugas itu ke sanggar untuk dibahas bersama," paparnya. (tribunjogja.com)